1.1 Pengertian Hadits
Hadis menurut Ibn Manzhur dari segi bahasa itu berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata Al-hadits, jamaknya yaitu : al-hadits, al-haditsan dan al-hudstan. Secara etimologi kata ini memiliki banyak arti, diantaranya : Al-jadid (baru) lawan dari kata Al-Qadim (yang lama), dan Al-Khabar yang berarti kabar atau berita.
Pernyataan Ibn Manzhur ini juga ditegaskan kembali oleh Muhammad Yunus, yang menyatakan bahwa kata al-hadits sekurang-kurangnya memiliki dua pengertian :
1. Jadid - Baru , lawan kata dari al-qadim jamaknya yaitu : hidats dan hudatsa;
2. Khabar - berita atau riwayat, jamaknya ahadits, hidtsan, dan hudtsan.
Secara terminologi, hadis dirumuskan kedalam pengertian yang berbeda-beda di antara para Ulama. Perbedaan pandangan itu lebih disebabkan oleh karena terbatas dan luasnya objek tinjuan masing-masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.
Pengertian hadits menurut ulama hadits
Ulama hadits mendefenisikan hadis sebagai berikut :
كُلُّ مَا اُثِرَ عَنِ النَّبِيّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ خَلْقيَّةٍ اُوْ خُلُقِيَّةٍ
Artinya : Segala sesuatu yang diberitakan Nabi SAW. Baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat maupun hal ihwal.
Demikian pengertian hadis secara terminologi bila ditinjau oleh aliran ilmu hadis. Maka akan ada perberdaan dari pengertian menurut aliran ilmu yang lain.
2.2 Larangan Menulis Hadits
Perpindahan hadits pada zaman rasul dan para sahabat lebih ditekankan dengan talaqi yaitu cara perpindahan hadits dari mulut ke mulut.
Pada zaman rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat perhatian sepenuhnya karena mereka terfokus kepada al Qur’an, karena al Qur’an setiap kali turun disamping hafalan melalui lisan para sahabat, juga ditulis pada alat-alat yang mungkin dapat dipergunakan seperti pelapah kurma, dibatu-batu, kulit binatang, dan lain sebagainnya yang bisa digunakan untuk menulis.
Tidak demikian halnya dengan al hadits diriwayatkan dari orang ke orang tidak tertulis sebagaimana al Qur’an, bahkan ditemukan riwayat-riwayat yang melarang penulisan hadits seperti hadits “janganlah kamu tulis yang telah kamu terima dariku selain al Qur’an, barangsiapa menuliskan yang ia terima dariku selain al Qur’an, maka hendaklah ia hapus, ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah menduduki tempat tinggalnya di api neraka (H.R. Muslim).
Larangan penulisan ini lebih ditekankan untuk menghindari adanya kemungkinan bercampuranya hadits yang didengar dari rasul dengan al Qur’an yang masih turun kepada rasulullah, tidak mustahil akan bercampurnya al qur’an dengan hadits, terlebih lagi bagi generasi berikutnya yang tidak menyaksikan nuzul ayat.
2.3 Perintah Penulisan Hadits
Disamping rasulullah melarang untuk menulis hadits beliau juga pernah memerintahkan kepda beberapa shabat tertentu untuk menuliskannya seperti riwayat ketika seseorang dari negeri Yaman datang kepada rasulullah saw dan meminta untuk dituliskan hadits, ya Rasulullah tuliskanlah untukku? Kemudian rasul mejawab : Tulislah oleh kamu sekalian untuk dia (Abu Syah).
Adanya tulisan-tulisan hadits secara pribadi seperti Abdullah bin Amr bin al Ash, adalah salah seorang sahabat yang selalu menulis apa saja yang didengar dari rasulullah, hal ini pernah ditegur oleh orang-orang quraisy kamu tulis semua yang kamu dengar dari rasulullah sedang beliau itu sebagai manusia kadang-kadang berbicara dalam suasana suka dan kadang-kadang dalam keadaan duka, atas teguran itu dia bertanya kepada Rasulullah saw. Rasulullah seraya bersabda : “Tulislah demi dzat yang nyawaku ada di tangannya tidaklah keluar daripadanya selain hak”.
Dan banyak lagi hadits atau riwayat yang menunjukan tentang bolehnya menulis hadits, oleh karenanya para ulama berusaha untuk mengkompromikan antara hadits-hadits yang melarang dan yang membolehkan.
1. Larangan menulis hadits adalah pada awal-awal islam agar hadits itu tidak bercampur dengan al Qur’an, akan tetapi setelah kaum muslimain semakin banyak dan para penghafal al Qur’an pun semakin banyak maka hukum melarang menulis hadits dinasakh oleh hadits yang membolehkannya.
2. Larangan menulis hadits adalah bersifat umum sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi yang mempunyai keahlian tulis menulis hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya.
3. Larangan menulis hadits ditujukan kepada orang yang lebih kuat hafalannya sedangkan yang kurang hafalannya dibolehkan.
2.4 Sistem Periwayatan al Hadits
1). Dengan menggunakan lafadh asli yang didengar dari rasulullah saw.
2). Dengan maknanya sedangkan kata-kata dan redaksinya disusun oleh perawi yang meriwayatkannya.
Namun bolehkah meriwayatkan hadits dengan maknanya?
Cara meriwayatkan hadits dengan maknanya tidak terlarang dengan syarat tidak menyalahi pengertian apa yang dimaksud oleh kata atau kalimat yang ada pada matan hadits, berlainan halnnya dengan al Qur’an tidak diperbolehkan mengganti kata atau susunan redaksi al Qur’an walaupun dengan muradhifnya dan tidak mempengaruhi kepada isinya, apalagi sampai membawa kepada makna yang berbeda.
2.5 Proses Pembukuan Hadits Pertama Kali
Telah diketahui dengan jelas apa yang dilaksanakan oleh para sahabat dan tabi’in mengenai pengumpulan hadits yaitu melawat ke berbagai kota untuk mencari hadits, menolak hadits yang maudlu’ dan melepaskan hadits-haadits itu dari tangan perusak, baik dari golongan Persia, Romawi, Yahudi dan lain-lain.
Dan telah diketahui pula bahwasanya para sahabat dan tabi’in membendaharakan hadits Rasul di dalam hafalan mereka yang kuat.
Mereka tidak memerlukan tulisan-tulisan hadits. Jika ada para sahabat yang mencatat hadits, maka hal itu mereka lakukan bukanlah karena lemah hafalan mereka, melainkan untuk menambah kokohnya ingatandan hafalan mereka.
Sesudah Islam berkembang, daerahnya bertambah luas, dan bid’ah pun telah bertebaran dalam masyarakat, sedang para sahabat telah berpindah dari kota Madinah ke berbagai kota lain dan telah banyak pula yang meninggal dunia dalam peperangan, hafalan sudah mulai lemah, maka timbullah keinginan dan hasrat untuk menulis hadits dan membukukannya.
Untuk menghasilkan maksud mulia itu, pada tahun 100 H khalifah meminta Gubernur Madinah, Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amer ibn Hazmin (120H) yang menjadi guru Ma’mar, Al Laits, Al Auza’y, Malik, Ibn Ishaq dan Ibnu Abi Dzi’bin supaya membukukan hadits Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, Amrah binti Abdir Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn ‘Ades, seorang ahli fiqih, murid ‘Aisyah ra. (20 H = 642 M – 98 H =716 M atau 106 H = 724 M), dan hadits-hadits yang ada pada Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr Ash Shiddieq (107 H = 725 M), seorang pemuka tabi’y dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.
‘Umar ibn Abdil Aziz menulis kepada Abu Bakr ibn Hazm, bunyinya, yang artinya:
“perhatikanlah hadits-hadits Rasul lalu tulislah, karena sesungguhnya aku takut kan hilang ilmu dan lenyap para ulama”.
Khalifah Umar Abu Bakar Ibn Hazm, supaya menulis untuk khalifah hadits yang ada pada “Amrab binti Abdur Rahman al-Anshariyah dan yang ada pada al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar.
Dan juga beliau mengirim surat kepada para gubernurnya di kota-kota besar lainnya untuk mengumpul hadits yang ada pada ulama-ulama yang berdiam di kota-kota itu. Bahkan beliau menulis surat dan memerintah ulama-ulama terkenal untuk membukukan hadits. Diantaranya Muhammad ibn Syihah az Zuhry. Mulai waktu itulah timbul perhatian para ulama untuk membukukan hadits dan menulisnya.
Para Pengumpul pertama hadits yang tercatat sejarah adalah :
a. Di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H =669 M – 150 H 767 M)
b. Di kota Madinah, Ibnu Ishak (... H = 151 M ... H = 768 M)
Atau ibnu abi Dzi’bin.
Atau Malik ibn Anas (93 H = 703 M – 179 H = 798 M).
c. Di kota Basrah,Al Rabi’ ibn Shabih (... H = ... M – 160 H = 777 M).
Atau Hammad ibn Salamah (wafat tahun 176 H).
Atau Sa’id ibn Abi Arubah (wafat tahun 156 H = 773 M)
d. DiKufah, Sufyan ats-Tsaury (wafat tahun 161 H
e. Di Syam, al-Auza’iy (wafat tahun 156 H)
f. Di Wasith, Husyaim Al Wasithy (104 H = 772 M – 188 H = 804 M).
g. DiYaman, Ma’mar Al Azdy ((5 H = 753 M - 153 H = 770 M).
h. Di Rei, Jarir al Dlabby (110 H = 728 M -188 = 804 M).
i. Di Khurasan, Jabir ibn Abdul Hamid (wafat tahun 188 H).
Dan Ibnul Mubarak (wafat tahun 181 H).
j. Di Mesir, Al Laits ibn Sa’ad (175 H).
Masing-masing mereka mengumpulkan hadits yang ada pada ulama-ulama yang tinggal di kota mereka. Semua mereka ini, semasa. Tak dapat kita ketahui mana diantara mereka yang lebih dahulu mengumpulkan hadits.Kemudian barulah ulama-ulama yang semasa dengan mereka menuruti jejak mereka itu.
Sistem yang mereka tempuh, ialah meletakkan hadits yang ada hubungannya dengan yang lain dalam satu bab, kemudian mereka kumpulkan bab-bab itu di dalam satu mushannaf. Mereka mencamputkan antara hadits dengan perkataan-perkataan sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in, berbeda dengan cara yang dilakukan oleh ulama masa pertama seperti az-Zuhry, yaitu mengkhususkan suatu karangan (buku) dengan satu bab saja, yang di dalam bab itu mereka kumpul hadits-hadits yang ada hubungannya satu sama lain dan mencampurkannya dengan pendapat-pendapat para sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in.
Pembukuan hadits mulai dilakukan di akhir masa Khilafah Bani Umayyah. Akan tetapi barulah tampak sempurna di masa pemerintahan Bani Abbas di pertengahan abad ke dua Hijriah. Karena itu di waktu itulah mulai aktif gerakan membukukan ilmu. Dan hadits pun mendapat perhatian yang sempurna.
Akan tetapi kitab-kitab hadits baik yang disusun oleh az-Zuhry maupun yang disusun oleh ulama-ulama yang sesudahnya, hanya sedikit saja yang sampai kepada kita, sepertin kitab al-Muwatha oleh Imam Malik, al-Musnad oleh Asy-Syafi’iy dan al-Atsar oleh Muhammad Ibn Hasan asy-Syaibani (wafat tahun 189 H).
Mungkin perkembangan yang terjadi dalam bidang penyusunan kitab-kitab itulah yang telah melenyapkan karangan-karangan yang terdahulu. Dalam pada itu tidaklah terjadi sesuatu kekurangan, oleh karena lenyapnya kitab-kitab itu, lantaran materi-materi hadits yang diriwayatkan dalam kitab az-Zuhry dan lain-lainnya, terdapat dalam kitab-kitab yang disusun belakangan dalan bentuk baru.
2.6 Motif-motif yang mendorong khalifah untuk membukukan hadits-hadits rasul
Setelah Agama Islam terseba luas ke luar jazira Arabiapara sahabat mulai berpencar di beberapa wilayah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang meninggal dunia. Maka tersadarlah perlunya al hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan kemudian dibukukan dalam dewan hadits, hal ini menggerakan hati khalifah Umar bin abdul Aziz seorang khalifah Bani Umayah antara tahun 99-101 hijriyah seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya.
Motif-motif yang mendorong khalifah untuk membukukan hadits-hadits rasul adalah :
a. Kekhawatran beliau akan lenyapnya hadits-hadits rasul apabila tidak terbukukan, seiring dengan banyaknya yang wafat para penghafal hadits.
b. Kemauan beliau untuk membersihkan dan memelihara hadits dari hadits-hadits maudhu’ yang dibuat oleh orang yang mempertahankan ideologi dan memepertahankan madzhabnya.
c. Alasan tidak terdewankannya hadits secara resmi di zaman rasulullah dan khulafaur rasyidin karena kekhawatiran bercampur adukannya dengan al Qur’an telah hilang, disebabkan al Qur’an telah terbukukan dalam satu mushaf, dan lebih banyak dihafal oleh para penghafal.