SEJARAH ASAL PENAMAAN DESA CIWIRU, KEC.PASAWAHAN DAN KAB. KUNINGAN
A.Sejarah Asal Penamaan Desa Ciwiru
Diriwayatkan sekitar tahun 1600-an di sebuah daerah bernama Lurah (sebuah desa yang berada di wilayah Plumbon-Cirebon) yang terletak di sebelah barat daya kesultanan cirebon, terjadi perselisihan akibat kesalahfahaman dan fitnah di desa tersebut, efeknya masyarakat di wilayah tersebut tidak ada kenyamanan lagi. Salah seorang tokoh dari desa lurah itu yang bernama Ki Geden Banjar Sari menyikapi keadaan yang sudah tidak menentu, dia memutuskan untuk pergi meninggalkan desanya yang sudah kacau balau dan banyak jatuh korban.
Ki Geden Banjar Sari pergi ke arah selatan dengan tidak ada tujuan yang pasti, yang dia lewati tentunya hutan belantara, naik turun bukit bahkan menyebrangi sungai-sungai. Sesudah menempuh perjalanan yang jauh Ki Geden Banjar Sari beristirahat untuk melepaskan lelah, di tempat tersebut Ki Geden Banjar Sari merasa nyaman dengan suasananya yang sejuk, pemandangannya yang elok, di benaknya ingin sekali membuat tempat tinggal di daerah tersebut, bahkan Ia juga berkeinginan untuk membuat pemukiman tempat tinggal bersama. Dia membuat sebuah gubuk sementara dan tinggal beberapa lama di daerah itu. Terlintas di pikirannya tidak mungkin terwujud apa yang di inginkannya tanpa ada bantuan orang lain sehingga Ki Geden Banjar Sari mencari orang-orang untuk membangun pemukiman yang nantinya orang-orang tersebut tinggal dan menetap di daerah itu. Akhirnya dia berencana pergi kembali ke desanya semula untuk mengajak sahabat terdekat dan sanak famili yang bisa diajak untuk mewujudkan keinginannya.
Suatu hari Ki Geden Banjar Sari pergi meninggalkan gubuknya untuk melaksanakan maksudnya, dia berjalan ke arah utara melewati pepohonan dan semak belukar, baru beberapa saat berjalan kaki, ada sebuah pohon besar yang rindang, pohon tersebut jenisnya lain dari yang lain, dia merasa ada perasaan aneh dan ada rasa takut saat melintas di samping pohon itu. Di saat dia melihat ke arah pohon tersebut, alangkah terkejutnya Ia melihat ada seseorang yang sedang bertapa. Di benaknya dia ingin sekali minta petunjuk kepada Si Petapa itu untuk mewujudkan keinginannya. Dia menunggu beberapa saat dengan diharpakan Si Petapa itu segera melihatnya dan menegurnya. Rupanya Si Petapa itu mengetahui kedatangan Ki Geden Banjar Sari, lantas Si Petapa langsung membuka matanya dan bertanya siapa nama dan apa tujuann Ki Geden Banjar Sari datang ke tempat itu, Ki Geden Banjar Sari langsung menjawab pertanyaan Si Petapa itu, terjadilah percakapan yang cukup lama, diketahui Si Petapa itu bernama Buyut Raganala. Dari hasil percakapannya dengan Buyut Raganala, ternyata Buyut Raganala mengijinkan dan mendukung keinginan Ki Banjar Sari untuk membuat pemukiman di wilayah ini, Buyut Raganala pun sepakat agar Ki Banjar Sari mencari bantuan agar apa yang dicita-citakannya segera terwujud. Maka Ki Banjar Sari mohon pamit kepada Buyut Raganala, ketika dia menegakan kepalanya dengan maksud ingin mohon pamit, ternyata secepat kilat Buyut Raganala sudah lenyap dari pandangannya.
Kemudian Ki Banjar Sari mengajak beberapa orang dari lurah, di dalamnya termasuk istri, sanak saudara, dan beberapa sahabatnya. Mulailah mereka membabad wilayah itu menjadi sebuah pemukiman yang dihuni oleh Ki Banjar Sari dan beberapa orang dari desa lurah.
Beberapa tahun kemudian, ketika pemukiman itu sudah mulai ramai, Ki Wanantara beserta beberapa muridnya yang berasal dari Wanasaba datang ke sebuah tempat yang letaknya sebelah utara tidak jauh dari pemukiman Ki Banjar Sari, maksud dan tujuan Ki Wanantara adalah untuk menyebarkan agama Islam. Ki Wanantara beserta muridnya mendirikan padepokan di wilayah tersebut untuk mereka bermukim dan menjalankan tujuannya.
Di sela-sela pembangunan padepokan, Ki Wanantara Berjalan ke arah barat daya untuk mencari mata air. Di sana Ki Wanantara bertemu dengan Buyut Raganala dan Ki Banjar Sari yang sedang bercakap-cakap sambil menatap mata air yang sangat jernih, saking jernihnya mata air tersebut hingga warnanya terlihat kebiru biruan. Terjadi percakapan yang cukup lama anatara ketiga tokoh tersebut. Dari percakapan tersebut munculah kesepakatan kelak pemukiman yang ada di sekitar wilayah ini diberi nama “CIBIRU”, yang artinya Air Biru. Kemudian sebelum kembali ke Padepokan Ki Wanantara menyampaikan kepada ki Geden Banjar Sari bahwa suatu saat dia ingin bersilaturahmi ke pemukiman Ki Banjar Sari.
Beberapa hari kemudian utusan Ki Wanantara beserta murid-muridnya berangkat ke arah selatan menuju pemukiman Ki Banjar Sari dengan tujuan mengajak warga tersebut memeluk agama islam. Ajakan utusan Ki Wanantara tersebut menimbulkan rasa ketersinggungan di kalangan warga Ki Banjar Sari, akhirnya ajakan tersebut tidak disambut baik oleh Warga Ki Geden Banjar Sari, justru hal itu menyebabkan perselisihan paham antara Utusan Ki Wanantara dan Warga Ki Banjar Sari yang kemudian meningkat menjadi sebuah pertampuran fisik antara kedua kelompok tersebut.
Mengetahui utusannya pulang dengan penuh luka dan membawa berita tentang ketidaksukaan warga Ki Banjar Sari atas kedatangan utusannya, Ki Wanantara datang menemui Ki Geden Banjar Sari untuk meminta maaf dan menyampaikan maksud dari muridnya yang mendatangi warga Ki Banjar Sari beberapa hari sebelumnya.
Alangkah terkejutnya Ki Wanantara ketika dia melihat pemukiman Ki Banjar Sari sedang diserang oleh sekelompok orang tak dikenal. Kemudian ki Wanantara beserta muridnya langsung masuk ke dalam kekacauan tersebut dengan maksud untuk melerai pertempuran. Suasana pun semakin ramai dengan kehadiran orang-orang dari kelompok Ki Wanantara. Di dalam pertempuran tersebut Ki Wanantara menggunakan segenap kemampuannya untuk membantu Ki Banjar Sari. setelah beberapa lama kekacauan berlangsung tiba-tiba pihak pengacau dari lurah terdesak menyerah kalah, ternyata dalam pertempuran itu Buyut Raganala pun membantunya tanpa sepengetahuan Ki Banjarsari dan Ki Wanantara.
Singkat cerita Ki Geden Banjar Sari dan Warganya tertarik dengan ajaran Ki Wanantara dan merekapun beramai-ramai memeluk Islam. Dalam suasana damai setelah terjadi kekacauan di wilayah itu, Ki Geden Banjarsari, Buyut Raganala dan Ki Wanantara berkumpul di tengah tengah Pemukiman Warga Ki Geden Banjar Sari, mereka bertiga berbicara tentang masa depan pemukiman di wilayah tersebut. Dari pembicaraan ketiga tokoh tersebut, munculah sebuah gagasan untuk memberikan nama “CIBIRU” bagi pemukiman yang sekarang ditempati warga Ki Geden Banjar Sari, kemudian ketiga tokoh tersebut bersepakat merubah nama “CIBIRU” menjadi “CIWIRU”, nama tersebut diambil dari sifat sumber mata air yang memiliki warna kebiru biruan yang ada di sekitar wilayah tersebut. Sedangkan makna/pesan dari nama “CIWIRU” itu sendiri dalam filosofi Sunda Wiwitan adalah “JADIKANLAH HATI KITA SEJERNIH AIR, HINGGA KEJERNIHANNYA MAMPU MEMBERIKAN WARNA KEBAIKAN, KETENTRAMAN, KEDAMAIAN BAGI SESAMA”. Di samping itu Ki Geden Banjar Sari dipercaya untuk menjadi lurah di pemukiman tersebut.
Setelah diangkat menjadi lurah, Ki Geden Banjar Sari dan Istrinya menanam dua buah pohon “Dangdeur” sebagai saksi atas terbentuknya pemukiman di wilayah itu untuk dikenang oleh anak cucu keturunan mereka di kemudian hari.
B. Sejarah Asal Penamaan Kecamatan Pasawahan
Bahasan ini hanya cerita Rakyat tanpa ada bukti dan saksi yang kuat untuk pembuktian keaslian dari cerita/sejarah Pasawahan. dan memang judul ini terlalu berat, karena berkenan dengan sejarah.. namun pemaparan ini bukanlah seperti layaknya sebuah sejarah. namun penulis mendapat informasi dari beberapa sumber yang menyatakan tidak jauh beda dengan pemaparan Bpk.Mugni. PA = Pasanggrahan SAWAH = suburnya lahan/tanah untuk bertani.
Pada masa kerajaan salah seorang putra dan putri kerajaan yang bermukim di daerah cikundul dalam keadaan darurat / perang, mereka dari ketiga putra Dalem di kejar oleh para musuh yang berlari ke hutan untuk bersembunyi dari pengejaran setelah sekian lama mereka tinggal di hutan, meraka enggan untuk kembali ke kerajaannya karena dengan rasa takut dan kekhawatiran yang mendalam mereka berkelana menyusuri hutan-hutan dan meraka sampai di pasawahan yang masih penuh dengan pepohonan layaknya hutan belantara. Mereka bermukim mendirikan tenda sementara yang di sebut pasangrahan Sebagai pelindung dari panas dan hujan. Tempat pasangrahan tersebut berletak antara SDN1 Pasawahan kidul dengan Sungai yang berada di pasawahan.
Dua laki-laki dan 1 perempuan yang masing-masing berpasangan (suami-istri) bermukim disana namun dari hari kehari perbekalan mereka hampir habis mereka bertahan hidup dengan cara memakan pucuk tumbuh-tumbuhan yang bisa di makan untuk bertahan hidup. Dan mereka berpikiran tidak mungkin terus-menerus bertahan hidup dengan cara yang seperti itu. Dan merekapun membuat sawah disana dan ladang sebagai lahan untuk pertanian.
Seiring waktu berjalan mereka mempunyai keturunan, dan di antara mereka tidak tinggal di pasanggrahan mereka saja dari salah satu saudaranya pergi ke sebelah barat untuk bermukim dan mencari tempat baru yang sekarang menjadi kampung sawah tengah dan sawah kulon.
Dan kejadian yang mereka alami itu sebelum terjadinya kota / kabupaten purwakarta, karena jalan kapten halim yang membentang di pasawahan belum mempunyai nama, karena saat itu jalan tersebut sebagai jalan dimana kerajaan melewati jalan tersebut. Seperti jalan yang dari wanayasa ke pasawahan dan masuk dari Gg.Amil (Pasawahan Kidul) yang lurus ke Sawah tengah, Sawah Kulon dan tembus ke Kp.Cidahu sungai Cikao itu adalah track yang sering di lewati oleh kerajaan Galuh dan Pajajaran.
Dan menurut cerita asal-usul dari leluhurnya orang pasawahan berkaitan erat dengan Nangkabeurit-Sagalaherang (Dalem Aria Wangsa Goparana, 1525 M), karena Beliau adalah seorang penyebar Syi'ar Islam yang menjajaki dan membuka Kp.Sagalaherang. namun penulis tidak mendapat keterangan siapa ketiga orang yang sempat tinggal di pasawahan tersebut, namun yang pasti mereka adalah keturunan dari Dalem yang berasal dari Ciundul-Cianjur. entah dari Putra-Putri Dalem Aria Wangsa atau saudaranya tidak ada informasi yang jelas yang memaparkan hal terebut.
Dan menurut cerita asal-usul dari leluhurnya orang pasawahan berkaitan erat dengan Nangkabeurit-Sagalaherang (Dalem Aria Wangsa Goparana, 1525 M), karena Beliau adalah seorang penyebar Syi'ar Islam yang menjajaki dan membuka Kp.Sagalaherang. namun penulis tidak mendapat keterangan siapa ketiga orang yang sempat tinggal di pasawahan tersebut, namun yang pasti mereka adalah keturunan dari Dalem yang berasal dari Ciundul-Cianjur. entah dari Putra-Putri Dalem Aria Wangsa atau saudaranya tidak ada informasi yang jelas yang memaparkan hal terebut.
C.Sejarah Asal Penamaan Kabupaten Kuningan
Ada beberapa kemungkinan tentang asal-usulnya Kuningan dijadikan nama daerah ini. Salah satu kemungkinan adalah bahwa istilah tersebut berasal dari nama sejenis logam, yaitu kuningan. Dalam bahasa Sunda (juga bahasa Indonesia), kuningan adalah sejenis logam yang terbuat dari bahan campuran berupa timah, perak dan perunggu. Jika disepuh (dibersihkan dan diberi warna indah) logam kuningan itu akan berwarna kuning mengkilap seperti emas sehingga benda dibuat dari bahan ini akan tampak bagus dan indah. Memang logam kuningan bisa dijadikan bahan untuk membuat aneka barang keperluan hidup manusia seperti patung, bokor, kerangka lampu maupun hiasan dinding.
Di Sangkanherang, dekat Jalaksana sebelum tahun 1914 ditemukan beberapa patung kecil terbuat dari kuningan. Paling tidak sampai tahun 1950-an barang-barang yang terbuat dari bahan logam kuningan itu sangat disukai oleh masyarakat elit (menak) di daerah Kuningan. Barang-barang yang dimaksud berbentuk alat perkakas rumah tangga dan barang hiasan di dalam rumah. Benda-benda dari bahan kuningan itu juga disukai pula oleh sejumlah masyarakat Sunda, Jawa, Melayu, dan beberapa kelompok masyarakat di Nusantara umumnya.
Di daerah Ciamis dan Kuningan sendiri terdapat cerita legenda yang bertalian dengan bokor (tempat menyimpan sesuatu di dalam rumah dan sekaligus sebagai barang perhiasan) yang terbuat dari logam kuningan[. Kedua cerita legenda dimaksud menuturkan tentang sebuah bokor kuningan yang dijadikan alat untuk menguji tingkat keilmuan seorang tokoh agama.
Di Ciamis - dalam cerita Ciung Wanara - bokor itu digunakan untuk menguji seorang pendeta Galuh (masa pra-Islam) bernama Ajar Sukaresi yang bertapa di Gunung Padang. Pendeta ini diminta oleh Raja Galuh yang ibukota kerajaannya berkedudukan di Bojong Galuh (desa Karangkamulya) sekarang yang terletak sekitar 12 km sebelah timur kota Ciamis, untuk menaksir perut istrinya yang buncit, apakah sedang hamil atau tidak. Kesalahan menaksir akan berakibat pendeta itu kehilangan nyawanya. Sesungguhnya buncitnya perut putri tersebut merupakan akal-akalan Sang Raja, dengan memasangkanbokor kuningan pada perut sang putri yang kemudian ditutupi dengan kain sehingga tampak seperti sedang hamil. Perbuatan tersebut dilakukan semata-mata untuk mengelabui dan mencelakakan Sang Pendeta saja.
Pendeta Ajar Sukaresi yang sudah mengetahui akal busuk Sang Raja tetap tenang dalam menebak teka-teki yang diberikan oleh Sang Raja, Sang Pendeta pun berkata bahwa memang perut Sang Putri tersebut sedang hamil. Sang Raja pun merasa gembira mendengar jawaban dari Pendeta tersebut,karena dia berpikir akal busuknya untuk mengelabui Sang Pendeta berhasil. Sang Raja dengan besar kepala berkatabahwa tebakan Sang Pendeta salah, dan kemudian memerintahkan kepada prajuritnya agar pendeta tersebut dibawa ke penjara dan segera Sang Raja mengeluarkan perintah agar pendeta tersebut di hukum mati.
Teryata tak berapa lama kemudian diketahui bahwa Sang Puteri tersebut benar-benar hamil. Muka Raja tersebut merah padam,hal ini tak mungkin terjadi pikirnya. Dengan gelap mata Sang Raja tersebut marah dan menendang bokor kuningan, kuali dan penjara besi yang berada di dekatnya. Bokor, kuali dan penjara besi itu jatuh di tempat yang berbeda. Daerah tempat jatuhnya bokor kuningan, kemudian diberi nama Kuningan yang terus berlaku sampai sekarang. Daerah tempat jatuhnya kuali (bahasa Sunda: kawali) dinamai Kawali (sekarang kota kecamatan yang termasuk ke dalam daerah Kabupaten Ciamis dan terletak antara Kuningan dan Ciamis, sekitar 65 km sebelah selatan kota Kuningan), dan daerah tempat jatuhnya penjara besi dinamai Kandangwesi (kandangwesi merupakan kosakata bahasa Sunda yang artinya penjara besi) terletak di daerah Garut Selatan.
Jadi, dari nama jenis logam bahan pembuatan bokor itulah daerah ini dinamakan daerah Kuningan. Itulah sebabnya, bokor kuningan dijadikan sebagai salah satu lambang daerah Kabupaten Kuningan. Lambang lain daerah ini adalah kuda yang berasal dari kuda samberani milik Dipati Ewangga, seorang Panglima perang Kuningan.
Menurut tradisi lisan Lagenda Kuningan yang lain, sebelum bernama Kuningan nama daerah ini adalah Kajene. Kajene katanya mengandung arti warna kuning (jene dalam bahasa Jawa berarti kuning). Secara umum warna kuning melambangkan keagungan dalam masyarakat Nusantara. Berdasarkan bahan bokor kuningan dan warna kuning itulah, kemudian pada masa awal Islamisasi daerah ini dinami Kuningan. Namun keotentikan Kajene sebaga nama pertama daerah ini patut diragukan, karena menurut naskah Carita Parahyangan sumber tertulis yang disusun di daerah Ciamis pada akhir abad ke-16 Masehi, Kuningan sebagai nama daerah (kerajaan) telah dikenal sejak awal kerajaan Galuh, yakni sejak akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi. Sementara itu, wilayah kerajaan Kuningan terletak di daerah Kabupaten Kuningan sekarang.
Adalagi menurut cerita mitologi daerah setempat yang mengemukakan bahwa nama daerah Kuningan itu diambil dari ungkapan dangiang kuning, yaitu nama ilmu kegaiban(ajian) yang bertalian dengan kebenaran hakiki. Ilmu ini dimiliki oleh Demunawan, salah seorang yang pernah menjadi penguasa (raja) di daerah ini pada masa awal kerajaan Galuh.
Dalam tradisi agama Hindu terdapat sistem kalender yang enggambarkan siklus waktu upacara keagamaan seperti yang masih dipakai oleh umat Hindu-Bali sekarang. Kuningan menjadi nama waktu (wuku) ke 12 dari sistem kalender tersebut. Pada periode wuku Kuningan selalu daiadakan upacara keagamaan sebagai hari raya. Mungkinkah, nama wuku Kuningan mengilhami atau mendorong pemberian nama bagi daerah ini?
Yang jelas, menurut Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan, dua naskah yang ditulis sezaman pada daun lontar beraksara dan berbahasa Sunda Kuna, pada abad ke-8 Masehi, Kuningan sudah disebut sebagai nama kerajaan yang terletak tidak jauh dari kerajaan Galuh (Ciamis sekarang) dan kerajaan Galunggung (Tasikmalaya sekarang). Lokasi kerajaan tersebut terletak di daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Kuningan.