A. Pengertian Tarekat
Asal kata “tarekat” dalam bahasa arab yaitu “thariqah” yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu. Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengiku tarekat) menuju Tuhn dengan cara mensucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh secara rohani, maknawi oleh seseorang untuk dapa mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Allah SWT.
Menurut Syekh Amin al-Khurdi tarekat ialah cara mengamalkan syaria dan menghayati inti syariat itu dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bias melalaikan pelaksanaan dan inti serta ujuan syariat.
B. Sejarah Timbulnya Tarekat
Peralihan tasawuf yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri. Semakin luas pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang berhasrat mempelajarinya.
Seorang guru tasawuf biasanya memformulasikan suatu sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah yang kemidian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakannya dari tarekat yang lain. Tarekat adalah organisai dari pengikut sufi-sufi besar. Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya. Maka timbullah tarekat. Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebbut ribat (disebut juga zawiyah,hangkah atau pekir).
Teori lain sejarah kemunculan tarekat dikemukakan oleh Jhon O. Voll. Ia mejelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah islam, dan para sufi yang mengembangkan jalan-jalan spiritual personal mereka dengan melibatkan praktik-praktik ibadah, pembacaan kitab suci, dan kepustkaan tentang keshalehan. Para sufi ini kadang-kadang terlibat konflik dengan otoritas-otoritas dalam komunitas islam dan memberikan alternatif terhadap orientasi yang lebih bersifat legalistik, yang disampaikan oleh kebanyakan ulama. Namun, para sufi secara bertahap menjadi figur-figur penting dalam kehidupan keagamaan dikalangan penduduk awam dan mulai mengumpulkan kelompok-kelompok pengikut diidentifikasi dan diikat bersama oleh jalan taswuf khusus (tarekat) sang guru. Mejelang abad ke-12 M (ke-5 H), jalan-jalan ini mulai menyediakan basis bagi kepengikutan yang lebih permanen, dan tarekat-tarekat sufi pun muncul sebagai organisasi sosial utama dalam komunitas islam.
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada priode ini mulai timbul beberapa, diantaranya tarekat Yasafiah yang didirikan oleh Ahmad al-Yasafi (w. 562 H/1169 M), tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd al-Khaliq al-Ghzudawani (w. 617 H/1220 M), tarekat Naksabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin an-Naksabandi al-Awisi al-Bukhari (w. 1389 M) di Turkistan, tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w. 1397 M). Karena banyaknya cabang-cabang tarekat yang timbul dari tiap-tiap tarekat induk, sangat sulit untuk menelusuri sejarah perkembangan tarekat itu se cara sistematis dan konsepsional. Akan tetapi yang jelas sesuai dengan penjelasan Harun Nasution, cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya alumni suatu tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari gurunya untuk membuka perguruan baru sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya. Alumni tadi meninggalkan ribatgurunya dan membuka ribat baru didaerah lain. Dengan cara ini, dari satu ribat induk kemudian timbul ribat cabang tumbuh ribat ranting dan seterusnya, samapi tarekat itu berkembang keberbagai dunia islam. Namun, ribat-ribat tersebut tetap mempunyai ikatan kerohanian, ketaatan, dan amalan-amalan yang sama dengan syekhnya yang pertama.
Dalam seluruh tarekat terdapat kegiatan ritual sentral yang melibatkan pertemuan-pertemuan kelompok secara teratur untuk melakukan pembacaan do’a, syair dan ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an.
Tarekat Qodiryah didirikan oleh Syeikh Abdul Qodir Jaelani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jaelani. Lahir di Nif, distrik Jilan, sebelah selatan Laut Kaspia tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, dia tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Abu Yusuf al-Hamadany (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah. Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS oleh orang Baghdad beliau dijuluki dengan MAWAR BAGHDAD. Beliau adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat.
Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baggdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpinan anak kedua Abdul Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qodiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya baru berkembang setelah Muhammad Ghawsh (w 1517 M) juga mengaku keturunan Abdul Qodir Jaelani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.” Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qodiriyah di dunia Islam, Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah,dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah. Sedangkan di Afrika diantaranya terdapat tarekat Ammariyah, Tarekat Bakka’iyah, Bu’ Aliyya, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Abdul Qodir Jilani.
Tareqat Qodiriyah bermula dari ribath dan madrasah Syekh Abdul Qodir Jailani, tempat yang dia pimpin untuk menyampaikan ajaran-ajaran tasawufnya sejak tahun 521 H hingga wafatnya tahun 561 H. Setelah itu ribath diteruskan kepemimpinannya oleh anak-anaknya kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya dengan zawiyah (suatu tempat para sufi melatih diri dalam bertasawuf) sebagai pusat kegiatannya, bagi murid yang sudah tamat akan diberikan ijazah yang berupa Khirqah dengan melakukan janji untuk meneruskan ajarannya yang telah didapat. Namun bagi Syekh Abdul Qodir Jailani sendiri tentang perolehan khirqah tidak terlalu penting, pembentukan jiwa sufi lebih utama dan dianggap cukup. Dari zawiyah inilah tareqat Qodiriyah mengalami perkembangan pesat.
Murid-muridnya banyak memegang peran penting dalam penyebaran ajaran tasawufnya, di antaranya yang diketahui yaitu : Muhammad ibn Abd al-Samad di Mesir, Muhammad al-Bata’ihi dan Taqiy al-Dina al-Yunini di Suriah, dan Ali al-Hadad di Yaman. Pada abad ke-15,tarekat ini masuk dan berkembang di anak benua India. Perkembangan yang sama terjadi di Afrika Utara. Pada tahun 1550 M, tarekat ini tersebar di Afrika Timur. Pada abad ke-17, tarekat ini mulai masuk ke Turki. Penyebar didaerah ini bernama Ismail Rumi (wafat 1631 atau 1643 M), dia kira-kira mendirikan 40 pusat tarekat di Istambul dan sekitarnya.
Tareqat Qodiriyah juga tersebar di Asia Kecil dan Eropa Timur, setelah beberapa dasawarsa kemudian di Indonesia tareqat ini adalah tarekat yang pertamakali masuk menurut sumber-sumber yang ada di Indonesia. Orang yang pertama menganut tarekat Qodiriyah dari Indosesia ialah Hamzah Fansuri (wafat sekitar 1590 M) dia masuk tarekat Qodiriyah antara Baghdad dan Syahr’i Naw (Ayuthia, ibukota Muangtai). Hamzah memperoleh ilmu Syekh Abdul Qodir Jailani melalui jalan ruhani, setelah Hamzah Fansuri tarekat ini juga berkembang di Aceh, di Makasar yang dikembangkan oleh Syekh Yusuf al-Makasari.
Dalam perkembangan berikutnya di Indonesia tarekat Qodiriyah bergabung dengan tarekat Naksabandiyah yang pada akhirnya menjadi sebuah tarekat terbesar, terutama di pulau Jawa, dengan nama baru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah didirikan oleh sufi dan Syekh besar masjid al-Haram Mekah al- Mukaramah, yaitu Ahmad Khatib Sambas ibn Abd Ghaffar al-Sambasi al-Jawi, seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Mekah yang wafat pada tahun 1878 M.
Diantara murid-murid Ahmad Khatib ialah Abd.Al-Karim dari Banten, sebagai orang yang menyebarkan dan mempopulerkan tarekat Qodiriyah-Naqsabandiyah didaerah ini dan Syekh Tolhah dari Cirebon yang mempunyai murid bernama Abdullah Mubarak.mengenai murid syekh Tholhah yang dikenal sebagai pendiri Pesantren Suryalaya ini, penulis buku tarekat Naqsabandiyah di Indonesia.
Martin Van Bruinessen mengatakan “Khalifah dari Kiyai Tolhah Cirebon yang paling penting ialah Abdallah Mubarak, belakang dikenal sebagai Abah sepuh. Abdallah melakukan baiat ulang dengan Abd.Karim Banten di Mekkah dan pada tahun 1905 M mendirikan pesantren Suryalaya di Pangerageung, dekat Tasikmalaya ( Jawa Barat ).”
Kemudian di bawah pimpinan putranya dan penerusnya Abah Anom (K.H.A. Shahibilwafa Tadjul Arifin) pesantren ini menjadi lebih terkenal secara nasional karena pengobatan yang dilakukan terhadap para korban Narkotika, penderita gangguan kejiwaan dan macam-macam penyakit lainya dengan mengamalkan dzikir tarekatnya.
Bentuk dzikirnya adalah :
- Dzikir Jahar, yaitu membaca “Laailaaha illallah” dengan suara keras.
- Dzikir Khafi, yaitu membaca “Laailaaha illallah” dalam hati.
- Diamalkan setelah shalat wajib atau sunat sebanyak 165 kali atau lebih
Ini merupakan amalan utama di Pondok Pesantren Suryalaya sejak masa Abah Sepuh hingga Abah Anom dan sebagai realisasi tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah. Abah Anom banyak mendapatkan patronase dari para pejabat tinggi dari Golkar yang telah dimasukinya hampir sejak permulaan berdirinya organisasi tersebut. Khalifahnya ada diseluruh jawa di Singapura di Sumatra Timur, Kalimantan Barat dan Lombok.
Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr nafi isbat dengan urutan sebagai berikut :
Membaca Istighfar paling sedikit 2 atau 20 kali dengan lafadz “Astaghfir Allah al-ghafur al-Rahim”, kemudian shalawat sebanyak itu pula dengan lafadsz “Allahuma shali’ala sayyidina Muhammad wa’ala alihi wa shahbihi wa sallim”, diteruskan dengan membaca dzikir jahr nafi isbat, yaitu melafadkan kalimat lailahailalah dengan suara keras sebanyak 140 kali dan dikerjakan setiap selesai shalat fardhu.
Pengucapan lafadz Lailaha illallah memiliki cara tersendiri, yaitu kata LA dibaca sambil dibayangkan dari pikiran ditarik dari pusat hingga otak, kemudian kata ILAHA dibaca sambil menggerakkan kepala kesebelah kanan dan kata ILLALLAH dibaca dengan keras sambil dipukulkan kedalam sanubari, yaitu kebagian sebelah kiri. Setelah selesai melakukan zikir itu lalu membaca Sayyidina Muhammad Rasul Allah Shalallah ‘alaihi wa sallam, membaca shalawat Allahuma shalli’ala sayyidina Muhammad shalatan Tunjina biha min jami al-ahwal wa al-afat dan membaca surat Al-Fatihah ditujukan kepada Rasulullah SAW dan kepada seluruh Syekh-syekh tarekat Qadiriyah serta para pengikutnya juga seluruh orang islam baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Sebelum dan ketika melakukan zikir tersebut seorang murid membayangkan wajah guru(mursyid) didepanya dan limpahan karunia Allah kepada Nabi dan Syekh.
Bagi setiap orang yang menganut tarekat Qadiriyah harus berpegang kepada akidah para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, yaitu akidah al-salaf al-salih. Berpedoman kepada Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW, agar dalam menjalani tarekat tidak tersesat. Bagi pemula (mubtadi) agar memiliki sifat bersih hati, jernih muka, suka memberi kebajikan, menghapus kejahatan, sabar dalam kekafiran, menjaga kehormatan syekh, bergaul baik sesama ikhwan, memberi nasihat kepada orang kecil dan orang besar, menjauhi permusuhan dan berkorban dalam masalah agama dan dunia.
Selain persyaratan tersebut diatas,setiap orang yang hendak mengikuti tarekat Qadiriyah harus menjalani dua tahapan, yaitu :
1. Tahap Permulaan, yaitu murid mengikuti dan menerima bai'at guru sebagai pertemuan pertama antara guru dan murid - Penyampaian wasiat oleh guru kepada murid - Pernyataan guru membai'at muridnya bahwa telah diterima menjadi murid dengan lafadz tertentu - Pembacaan do'a oleh guru yang terdiri dari do'a umum dan do'a khusus - Pemberian minum oelh guru kepada murid sambil membacakan beberapa ayat al-Qur'an. Setelah pemberian minum itu, maka selesailah tahap permulaan dan secara resmi seseorang telah menjadi murid pengiktu Tarekat Qadiriyah.
2. Tahap Perjalanan, maksudnya tahap murid menuju Allah melalui bimbingan guru. Murid harus melalui tahap ini dalam waktu yang lama dan bertahun-tahun, sebelum ia memperoleh karunia Allah yang dilimpahkan kepadanya. Selama perjalanan itu murid masih menerima ilmu hakikat dari gurunya. Selain itu murid juga dituntut berbakti kepada guru dan menjauhi larangannya. Murid harus terus berjuang melawan hawa nafsu dan melatih dalam ber-mujahadah dan riyadhah kepada Allah.
Apabila murid telah berhasil melalui tahapan tersebut, maka guru memberikan ijazah dan memberikan talqin tauhid kepada murid, setelah itu murid berhak menyandang gelar guru atau syekh dalam tarekar Qadiriyah. Seorang murid yang telah menjadi syekh sudah tidak lagi terikat dengan gurunya, walau pun tidak ada larangan untuk terus mengikuti guru. Sesuai dengan petuah Syekh Abdul Qadir Jailani bahwa murid yang telah menjadi syekh boleh mandiri dan yang menjadi walinya adalah Allah.
Secara garis besarnya pokok-pokok ajaran Tarekat Qadiriyah yaitu ada lima:
1. Tinggi cita-cita
2. Memelihara kehormatan
3. Memelihara nikmat
4. Melaksanakan maksud
5. Mengagungkan nikmat
Tarekat Rifa'iyah pertama kali muncul dan berkembang luas di wilayah Irak bagian selatan, didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i. Beliau lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H / 1106 M. Sumber lain ada juga yang menyebukan beliau lahir pada tahun 512 H / 1118 M. Abu Bakar Aceh dalam bukunya Pengantar Ilmu Tarekat menulis bahwa Abul Abbas Ahmad bin Ali ar-Rifa'i menghabiskan hampir seluruh hidupnya di wilayah Irak bagian selatan. Ketika berusia tujuh tahun ayahnya meninggal dunia, kemudia beliau diasuh oleh pamannya Mansur al-Bathaihi, seorang syekh tarekat.
Selain berguru kepada pamannya Mansur al-Bathaihi beliau juga belajar pada pamannya Abu al-Fadl Ali al-Wasiti, terutama tentang mazhab fikih Imam Syafi'i, sehingga pada usia 21 tahun beliau telah berhasil memperoleh ijazah dan khirqah sembilan dari pamannya, sebagai pertanda telah mendapat wewenang untuk mengajar pula. John L Esposito dalam Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern menuliskan bahwa garis keturunan ar-Rifa'i sampai kepada Junaid al-Baghdadi (wafat 910 M) dan Sahl al-Tustari (wafat 896 M).
Pada tahun 1145 ar-Rifa'i menjadi syekh tarekat ini, ketika pamannya (syekhnya juga) menunjuk ar-Rifa'i sebagai penggantinya. Kemudian beliau mendirikan pusat tarekat sendiri di Umm Abidah, sebuah desa di Distrik Wasit, tempat beliau wafat.
Pada tahun 1145 ar-Rifa'i menjadi syekh tarekat ini, ketika pamannya (syekhnya juga) menunjuk ar-Rifa'i sebagai penggantinya. Kemudian beliau mendirikan pusat tarekat sendiri di Umm Abidah, sebuah desa di Distrik Wasit, tempat beliau wafat.
Tarekat Rifa'iyah berbeda dengan Organisasi Kemasyarakatan Rifa'iyah yang ada di Indonesia. Ormas Rifa'iyah didirikan oleh Syekh Haji Ahmad ar-Rifa'i al-Jawi bin Muhammad bin Abi Sujak bin Sutjowijoyo, yang lahir pada 9 Muharam 1200 H / 1786 M di Desa Tempuran Kabupaten Kendal, terakhir dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Pemerintahan SBY.
Tarekat Rifa'iyah yang juga merupakan tarekat sufi Sunni ini memainkan peran penting dalam pelembangan sufisme. Di bawah bimbingan ar-Rifa'i tarekat ini tumbuh subur, sehingga dalam tempo yang tidak terlalu lama tarekat ini berkembangan luas keluar Irak, di antaranya ke Mesir dan Suriah. Hal ini disebabkan murid-murid tarekat ini menyebar ke seluruh kawasan Timur Tengah.
Perkembangan berikutnya Tarekat Rifa'iyah sampai ke kawasan Anatolia di Turki, Eropa Timur, Kaukasus dan wilayah Amerika Utara. Para murid Rifa'iyah membentuk cabang-cabang baru di tempat-tempat tersebut, alhasil jumlah cabang Tarekat Rifa'iyah meningkat dengan sistem syekh turun-temurun.
Tarekat Rifa'iyah juga sampai tersebar ke Indonesia, seperti di Aceh (terutama di bagian barat dan utara), di Jawa, Sumatera Barat dan Sulawesi. Namun di daerah Aceh tarekat ini lebih dikenal dengan sebutan Rafai, yang berarti "tabuhan rebana" berasal dari perkataan pendiri dan penyiar tarekat Rifa'iyah sendiri.
Tarekat Rifa'iyah juga sampai tersebar ke Indonesia, seperti di Aceh (terutama di bagian barat dan utara), di Jawa, Sumatera Barat dan Sulawesi. Namun di daerah Aceh tarekat ini lebih dikenal dengan sebutan Rafai, yang berarti "tabuhan rebana" berasal dari perkataan pendiri dan penyiar tarekat Rifa'iyah sendiri.
Walaupun Tarekat Rifa'iyah terdapat di tempat-tempat lain, namun menurut Esposito tarekat ini paling signifikan berada di Turki, Eropa Tenggara, Mesir, Palestina, Suriah, Irak dan Amerika Serikat. Pada akhir masa kekuasaan Turki Usmaniyah (Ottoman), Rifa’iyah merupakan tarekat penting, keanggotaannya meliputi tujuh persen dari jumlah orang yang masuk sufi di Istanbul.
Dalam beberapa cabang, pengikut Rifa'iyah harus mengasingkan diri dan melakukan penyendirian spiritual (khalwat). Praktik ini biasanya dilakukan paling sedikit selama satu minggu pada awal Muharam.
Menurut Sayyid Mahmud Abul al-Faidl al-Manufi, Tarekat Rifa'iyah mempunyai tiga ajaran dasar, yaitu:
1. Tidak meminta sesuatu
2. Tidak menolak
3. Tidak menunggu
Sementara menurut asy-Syarani, tarekat ini menekankan pada ajaran asketisme (zuhud) dan ma'rifat (puncak tertinggi dalam ajaran tasawuf).
Dalam pandangan Syekh ar-Rifa'i, sebagaimana diriwayatkan asy-Syarani, asketisme merupakan landasan keadaan-keadaan yang diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunahkan. Asketisme adalah langkah pertama seseorang menuju kepada Allah, mendapat ridha dari Allah dan bertawakkal kepada Allah. Menurut Syekh ar-Rifa'i "Barang siapa belum menguasai landasan kezuhudan, langkah selanjutnya belum lagi benar". Mengenai ma'rifat Syekh ar-Rifa'i berpendapat bahwa penyaksian adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yakin dan terbukanya hakikat realitas-realitas secara benar-benar yakin. Menurutnya, cinta mengantar rindu dendam, sedangkan ma'rifat menuju kefanaan ataupun ketiadaan diri.
Irhamni,MA dalam tulisannya mengenai Syekh ar-Rifa'i mengungkapkan bahwa pendiri Tarekat Rifa'iyah ini semasa hidupnya pernah mengubah sebuah puisi bertema "Cinta Ilahi" yang bunyinya : "Andaikan malam menjelang, begitu gairah kalbuku mengingat-Mu. Bagai merpati terbelenggu atau meratap tanpa jemu. Di atasku awan menghujani derita dan putus asa. Di bawahku lautan menggelora/kecewa. Tanyalah atau biarkanlah mereka bernyawa. Bagaimana tawanan-Nya bebaskan tawanan lainnya, sementara dia dipercaya tanpa-Nya dan dia tidak terbunuh, kematian itu istirah baginya. Bahkan dia tidak dapat mati sampai bebas karenanya". Syair di atas merupakan salah satu bentuk asketisme yang dilakukan oleh Syekh Ahmad Rifa'i dalam mencapai hakikat tertinggi mengenal Allah, yaitu tingkat ma'rifat.
Wirid dan Amalan Tarekat Rifa’iyah
Ciri khas Tarekat Rifa'iyah terletak pada dzikirnya yang disebut dengan darwis melolong, karena dilakukan bersama-sama dengan diiringi suara gendang bertalu-talu. Dzikir itu dilakukan sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, seperti berguling-guling dalam bara api, tetapi mereka tidak terbakar sedikit pun.
Menurut John L Esposito, sebagian kaum Rifa'iyah terkenal karena mengikuti praktik upacara, seperti menusuk kulit dengan pedang dan makan kaca. Hal ini menyebar bersama Tarekat Rifa'iyah sampai ke Kepulauan Melayu. Namun saat ini praktik seperti itu tidak lagi dilakukan, karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Di Sumatera para pengikut Rifa'iyah ini memainkan dabus, yaitu menikam diri dengan senjata tajam, diiringi dengan dzikir-dzikir tertentu. Dalam bahasa Arab Dabus artinya "besi yang tajam". Christian Snouck Hurgronye dalam De Acehers mengatakan bahwa dabus dan rabana yang sering dimainkan di Sumatera ini sangat erat hubungannya dengan Tarekat Rifa'iyah.
Dabus ini juga berkembang di daerah Sunda, seperti diungkapkan C.Poensen dalam bukunya Het Daboes van Santri Soenda. Di Sumatera Barat kesenian dabus ini dikenal dengan sebutan TABUIK, tepatnya di daerah Padang Pariaman. Dalam Encyklopedia van Nederlandsch Oost India, disebutkan bahwa perkembangan Tarekat Rifa'iyah ini bersama-sama dengan permainan dabus.
Dabus ini juga berkembang di daerah Sunda, seperti diungkapkan C.Poensen dalam bukunya Het Daboes van Santri Soenda. Di Sumatera Barat kesenian dabus ini dikenal dengan sebutan TABUIK, tepatnya di daerah Padang Pariaman. Dalam Encyklopedia van Nederlandsch Oost India, disebutkan bahwa perkembangan Tarekat Rifa'iyah ini bersama-sama dengan permainan dabus.
Tarekat Syadziliyah adalah tarekat yang dipelopori oleh Syekh Abul Hasan Asy Syadzili. Nama kecilnya Ali, bergelar Taqiyuddin, Julukanya Abu Hasan dan nama populernya adalah Asy Syadzili.
Al-Syadzili lahir di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah pada tahun 593 H(1197 M). Beliau berasal dari garis keturunan Nabi Muhammad Saw. dengan silsilah nasab sebagai berikut :
=> As-Sayyid Asy-Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzili bin
=> Ali bin
=> Abdullah bin
=> Tamim bin
=> Hurmuz bin
=> Hatim bin
=> Qusay bin
=> Yusuf bin
=> Yusya bin
=> Ward bin
=> Bathaal bin
=> Ali bin
=> Ahmad bin
=> Muhammad bin
=> Isa bin
=> Muhammad bin
=> Abi Muhammad bin
=> Imam Hasan bin
=> Sayyidna Ali ra dan Sayyidatina Fathimah binti
=> Rasulullah Sayyidina Muhammad saw.
Sebagai tokoh tarekat, beliau mengamalkan tarekat yang juga diajarkan Nabi Muhammad Saw. dengan silsilah tarekat sebagai berikut :
=> As-Syaikh As-Sayyid Abil Hasan Asy-Syadzili ra, dari
=> As-Syaikh Abdus Salam b Mashish ra, dari
=> As-Syaikh Muhammad bin Harazim ra, dari
=> As-Syaikh Muhammad Salih ra, dari
=> As-Syaikh Shuaib Abu Madyan ra, dari
=> As-Syaikh As-Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani ra, dari
=> As-Syaikh Abu Said Al-Mubarak ra, dari
=> As-Syaikh Abul Hasan Al-Hukkari ra, dari
=> As-Syaikh At-Tartusi ra, dari
=> As-Syaikh Asy-Shibli ra, dari
=> As-Syaikh Sari As-Saqati ra, dari
=> As-Syaikh Ma'ruf Al-Kharkhi ra, dari
=> As-Syaikh Daud At-Tai ra, dari
=> As-Syaikh Habib Al-Ajami ra, dari
=> Imam Hasan Al-Basri ra, dari
=> Sayyidina Ali bin Abu Talib ra, dari
=> Sayyidina Muhammad saw.
Abul Hasan asy-Syadzili menghapal al-Quran dan merantau ke Tunis ketika usianya masih sangat muda, tinggal di desa Syadzilah. Oleh karena itu, namanya dinisbatkan kepada desa Syadzilah meskipun ia tidak berasal dari desa tersebut.
Secara pribadi Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa, dan hizib. Ibn Atha’illah as- Sukandari adalah orang yang prtama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga kasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara.
Ibn Atha’illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya. Melalui sirkulasi karya-karya Ibn Atha’illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru.
Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Sebagai ajaran, Tareqat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya : “Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali”. Perkataan yang lainnya : “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisi anda cahaya.”
Tarekat Syadziliyah ini menarik di kalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Hal ini disebabkan karena ke-khas-an yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tarekat-tarekat lain. Tarekat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam, sampai saat ini tarekatSyadziliyah terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir tempat awal mula penyebaran tarekat ini, mempunyai beberapa cabang, yakitu : al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.
Di Indonesia, pengamalan tareqat ini tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, dalam banyak kasus lebih bersifat individual dan pengikutnya relatif jarang. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb) dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tarekat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru.
Ciri Khas Tarekat Syadziliyah
Setiap anggota tarekat ini wajib mewujudkan semangat tarekat dalam kehidupan dan lingkungan dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karen itu, ciri khas yang menonjol dari anggota tarekat ini adalah :
1. Mursyid tidak memberatkan murid-murid dan amalan yang diberikan pun pasti pas, sesuai dengan volume ruhani masing-masing murid.
2. Murid bebas untuk menjadi apa dan bebas memiliki apa saja dalam masing-masing kondisi yang Allah takdirkan untuk mereka, tetapi dalam kondisi tersebut mereka pun pasti juga bisa menemukan jalan menuju Allah.
3. Kerapian dalam berpakaian.
4. Ketenangan yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, seperti asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad.
5. Keyakinan bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tarekat ini dari sejak alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tarekat ini.
Syekh Abdul Djalil Mustaqim pernah dawuh bahwa mengamalkan tarekat sebagai seorang sufi bukan hanya memegang tasbih, berdzikir di masjid atau melakukan zawiyah/uzlah tanpa mempedulikan kehidupan duniawi dan kepentingan masyarakat. Menurut Beliau, salat 5 waktu dengan disiplin, mencari nafkah dengan jujur, menuntut ilmu dengan bersungguh-sungguh, merupakan kehidupan bertarekat. Tetapi itu semua jangan sampai menyebabkan kita melupakan Allah SWT. Tidak ada larangan berbisnis bagi pengikut tarekat. Bisnis tidak menghalangi seseorang untuk masuk surga, sebab ada berjuta jalan menuju Allah.
Kemudian Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi juga pernah dawuh kepada Syaikh Ibnu Athaillah : "Jika engkau berteman dengan seorang pedagang, jangan berkata kepadanya : "Tinggalkan daganganmu dan kemarilah!" Juga jangan berkata kepada seorang pckerja : "Tinggalkan pekerjaanmu dan kemarilah!" Dan jangan berkata kepada pelajar : "Tinggalkan pelajaranmu dan kemarilah!". Posisikan setiap orang sesuai dengan posisi yang diberikan oleh Allah kepadanya. Para sahabat selalu setia bersama Rasulullah saw., namun Rasulullah tidak pernah berkata kepada (sahabat yang) pedagang : "Tinggalkan daganganmu!" begitu juga kepada pekerja, beliau tidak pernah mengatakan : "Tinggalkan pekcrjaanmu!". Tetapi Rasulullah membiarkan mereka dengan usahanya masing-masing seraya memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada Allah." Selanjutnya beliau juga dawuh : “Tetaplah dalam posisi yang diberikan Allah kepadamu. Bagianmu yang diberikan Allah melalui diriku pasti akan sampai kepadamu. Itulah ahwal kaum shiddiqin, mereka keluar dari sesuatu ketika Allah SWT. sendiri yang mengeluarkan mereka.”
Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang tokoh Tarekat Syadziliyah yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah dan salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan tentang ajaran Tarekat Syadziliyah, bahwa : “Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam, dan memohon kepada-Nya agar memberikan rasa syukur kepada kita".
Secara umum pada pola dzikir (yang merupakan suatu hal yang mutlak) tarekat ini biasanya diawali dengan Fatihah adz-dzikir, yaitu dengan cara para peserta duduk dalam satu lingkaran atau dalam dua baris yang saling berhadapan, sementara syekh duduk di pusat lingkaran atau di ujung barisan, kemudian tentang materi dzikir al-asma al-husna yang dipakai dalam tareqat ini, diperlukan kebijakjsanaan dari pembimbing untuk menentukan al-asma al-husna mana yang akan diajarkan kepada murid, sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang sekelilingnya.
Ibn Atha'ilah memberikan beberapa contoh penggunaan Asma Allah sebagai berikut :
· "Asma al-Latif" (Yang Halus) harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya;
· “Al-Wadud” (Kekasih yang Dicintai) membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar;
· “Asma al-Faiq” (Yang Mengalahkan) sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang arif yang telah mencapai tingkat tinggi.
Kemudian Ibn Atha'illah menetapkan doktrin ajaran utama Tarekat Syadziliyah ini sebagai berikut :
1. Tauhid dengan sebenar-benarnya tauhid dengan tidak musyrik kepada Allah serta ketaqwaan terhadap Allah Swt. lahir dan batin yang diwujudkan dengan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah Swt.
2. Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dan direalisasikan dengan selalu bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
3. Berpaling (hati) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
4. Ridha kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.
5. Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
Kelima doktrin ini juga tegakkan di atas lima sendi sebagai berikut :
1. Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
2. Berhati-hati dengan yang haram, dengan iini dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatan.
3. Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikan kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
4. Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan hidup.
5. Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.
Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) juga merupakan salah satu pandangan tarekat ini, karena menurut Ibn Atha'illah, hal ini jelas merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.
Maulawiyah berasal dari kata “Maulana” artinya “guru kami” gelar yang diberikan murid-murid kepada seorang “sufi penyair Persia terbesar sepanjang masa” yang memiliki nama asli Jalal Al-Din Muhammad, yang kemudian lebih dikenal dengan Maulana Jalal al-Din Rumi atau Rumi (w. 1273 M). Dengan demikian Tarekat Maulawiyah adalah tarekat yang didirikan oleh Maulawi Jalaluddin Ar-Rumi, 15 tahun sebelum beliau meninggal di Anatolia, Turki.
Maulana Jalal al-Din Rumi lahir di kota Balkh (Afganistan) pada tanggal 6 Robi'al Awwal atau 30 September 1207, dari pihak ayah dia keturunan khalifah Abu Bakar Shiddiq. Sedangkan dari pihak ibu keturunan Ali bin Abi Thalib. Dalam usia 12 tahun ia bersama keluarganya diam-diam meninggalkan kampung halaman untuk melaksanakan ibadah haji dan tidak kembali karena ayah Rumi, Baha'al-Din Walad telah mendengar tentang invasi Mongol ke kota Balkh.
Kota pertama yang dikunjungi adalah Nisyapur dan di sini Rumi bertemu dengan Farid al-Din Aththar seorang sufi penyair terkenal yang menyerahkan salinan bukunya yang berjudul Asrar Nameh (Buku tentang rahasia) kepada Rumi. Dari Nisyapur keluarga Rumi terus ke Baghdad di mana mereka mendengar berita penyergapan kota Balkh oleh Jengis Khan. Pada tahun 1220 Baha'al-Din Walad berangkat menuju kota Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian diteruskan ke Damaskus, Siria, dan Malatia (Melitene). Dari Meletine mereka menuju ke Armenia, kemudian ke Zaranda sebelah tenggara Konya. Di sini Rumi menikah dengan Jawhar Khatun putri Lala Syarif al-Din pada usia 18 tahun. Pada tahun 1228 ia dan keluarganya pindah ke Konya setelah dapat undangan dari sultan 'Ala al-Din Kayqabad. Di sini Baha'al-Din Walad sangat dihormati oleh sultan dan menjadi pembimbing spiritualnya. Bahkan sang penguasa memberinya gelar kehormatan "Sultan al-ulama (rajanya para ulama)". Baha'al-Din Walad, sang guru dan da'i kondang ini memperoleh ketenaran dan posisi terhormat hingga wafat pada tahun 1230.
Setelah ayahnya meninggal, Rumi mengambil posisi ayahnya sebagai penasehat para ulama konya dan murid-murid ayahnya. Dan kurang lebih satu tahun dari kematian ayahnya, atas anjuran gurunya Burhan al-Din Rumi meneruskan pendidikannya di Aleppo dan mengunjungi beberapa madrasah yang dibangun oleh al- Malik al-Zhahir. Dari sini ia pindah ke Damaskus dan mempunyai kesempatan emas untuk bercakap dengan tokoh-tokoh besar, seperti Muhy al-Din bin 'Arabi, Sa'ad al-Din Al-Hamawi, Utsman Al-Rumi, Awhad al-Din bin Arabi, dan Shadr al-Din al-Qunyawi. Pada tahun 1236 M Rumi kembali ke Konya dan menyibukkan diri dengan menuntut ilmu dan memberikan bimbingan spiritual sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 1241 M.
Selama bertahun-tahun Rumi menikmati popularitasnya yang tinggi dan menempati posisi yang sangat dihormati sebagai seorang pemimpin. Tetapi pada tahun 1244 seorang Darwisy misterius, Syams al-Din Tabrizi datang ke Konya dan menjumpai Rumi. Perjumpaan ini telah mengubah Rumi dari seorang Teolog terkemuka menjadi seorang penyair mistik yang sangat terkenal. Karena kuatnya pesona kepribadian Syams, Rumi lebih memilih meninggalkan kegiatannya sebagai guru dan da'i profesional untuk mengabdikan diri kepada Syams yang kini menjadi guru spiritualnya, dan untuk memperkuat ikatannya untuk beberapa waktu mereka tidak pernah terpisah. Tetapi keadaan ini membuat murid-murid Rumi marah dan cemburu karena tidak mendapat bimbingan spiritual akibatnya mereka menyerang Syams dengan kekerasan dan ancaman, sehingga ia meninggalkan Rumi menuju Damaskus.
Perpisahan ini dirasa menyakitkan oleh Rumi dan menghunjam perasaan begitu mendalam.. karena itu ia mengutus anaknya sultan Walad untuk memohon Syams agar kembali ke Konya. Rumi bahagia bisa jumpa lagi dengan sang guru, sehingga apa yang dulu terjadi terulang kembali. Hal ini membuat murid-murid Rumi menjadi semakin marah karena cemburu dan benci, akibatnya sekali lagi Syams diserang dengan lebih hebat lagi dari sebelumnya. Situasi ini mendorong syams untuk mencari perlindungan ke Damaskus. Kemudian Rumi menyusul dan mencarinya sendiri ke Damaskus tetapi itu tidak berhasildan kembali ke Konya dengan tangan hampa.
Sebagai tanda cintanya kepada Tabrizi, Rumi menulis kumpulan puisi yang kemudian dikenal dengan Divan-e Shams-e Tabrizi. Puisi itu adalah :
Kenapa aku harus mencari?
Aku sama dengannya
Jiwanya berbicara kepadaku
Yang kucari adalah diriku sendiri!
Sepuluh tahun setelah kematian Tabrizi, Rumi kem udian mengubah ghazal (puisi cinta) dan dikumpulkannya dalam Divan-e Kabir atau Diwan Agung. Konsep cinta dan keindahan membuat ajaran Rumi berbeda dengan aliran tarekat lain. Sementara sejumlah tarekat saat itu lebih banyak berkonsentrasi untuk menyempurnakan diri menuju insan kamil lewat ibadah, wirid, atau menyodorkan faham ketauhidan baru. Penyatuan diri dengan Tuhan (wihdatul wujud) yang berkembang berabad-abad sebelum Rumi di Bagdad adalah salah satu cara pencapaian menuju Tuhan yang tidak dipilih Rumi.
Sebagai seorang hakim yang paham syariat, Rumi tidak memasukkan dirinya dalam ritual yang kontroversial. Dan sebagai seorang seniman, ia memiliki cara sendiri dalam mencapai kesempurnaan dalam beragama tanpa harus menjadi ekstrem. Ia memanfaatkan puisi, musik dari seruling dan gitar [rebab] untuk mengiringi dzikir. Cara ini kemudian dikenal dengan sema’ yang berarti mendengar. Dengan arti yang sedikit berbeda, pesantren-pesantren di Jawa memiliki ritual bernama semaan.
Setelah kembali ke Konya, Rumi mendirikan Tarekatnya sendiri, kira-kira 15 tahun setelah itu kesehatan Rumi menurun dan tak lama kemudian ia sakit. Akhirnya pada hari minggu tanggal 16 Desember 1273 mawlana Rumi menghembuskan nafasnya yang terakhir di kota Konya. Rumi meninggal dan dikubur dalam Kubah Hijau (Qubat-ul-Azra’) yang bertuliskan “Saat kami meninggal, jangan cari kuburan kami di tanah, tapi carilah di hati manusia.” Namun ritual sema’ itu tak ikut mati. Para pengikutnya, terutama anaknya, Sultan Veled Celebi, melembagakan ajaran itu dalam tarekat bernama Maulawiyah atau Mevleviye.
Dalam perkembangannya, aliran sufi ini mampu menarik perhatian para petinggi di Kesultanan Ottoman. Bahkan di masa inilah Maulawiyah mampu menghasilan sejumlah penyair dan musisi legendaris seperti Sheikh Ghalib, Ismail Ankaravi yang berasal dari Ankara, dan Abdullah Sari. Bahkan ada yang mengatakan masuknya nay atau seruling ke dalam peradaban Eropa adalah berkat merambahnya aliran Maulawiyah ke daerah “jajahan” Ottoman di Eropa.
Dengan aliran inilah ajaran cinta Rumi tersebar ke seluruh dunia. Manusia diciptakan dengan cinta untuk cinta. “Semua cinta adalah jembatan menuju Sang Maha Kasih. Karenanya, yang tak pernah merasakan cinta, tak akan pernah mengetahuinya,” kata Rumi.
Wajah Islam yang sejuk dan indah telah lama menyentuh Amerika. Pengenalan itu dibawa para sufi antara lain ulama dan ahli musik India, Hazrat Inayat Khan pada 1910. Sejak itu benih tasawuf bersemi di bumi Amerika. Salah satu ordo yang berkembang pesat adalah Tarekat Maulawiyah. Bermarkas di Amerika Utara, tarekat ini dipimpin Shaikh Kabir Helminski. Bersama Camille Helminski, isterinya, keduanya membentuk organisasi dalam pengajaran spiritual The Treshold Society yang menyedot perhatian ratusan ribu orang. Kabir ditunjuk menjadi shaikh (mursyid) oleh almarhum Dr. Celaleddin Celebi dari Turki, pemimpin Tarekat Maulawiyah dan penerus generasi ke-21 dari Jalaluddin Rumi, pendiri tarekat itu.
Kabir menulis sejumlah buku tasawuf dan menerjemahkan beberapa karya Rumi. Dia orang muslim pertama yang diminta memberikan kuliah tentang spiritualitas di Harvard Divinity School. November lalu, mestinya Kabir berkunjung ke Jakarta untuk berceramah, namun acara itu batal. Akhir Ramadan lalu, wartawan TEMPO Kelik M. Nugroho mewawancarai Kabir melalui surat elektronik. Kutipannya: Apakah Threshold Society itu? The Threshold Society (Masyarakat Ambang Pintu) adalah sebuah yayasan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan untuk pengembangan spiritual dengan tradisi tarekat Maulawiyah. Tujuannya, dalam pengertian luas untuk mengajarkan prinsip-prinsip pencapaian pengalaman spiritual. Pelatihan ini terbuka untuk semua orang tanpa membedakan agama dan kepercayaan yang dianut.
Ajarannya bersumber dari prinsip kerohanian yang termaktub dalam Alquran, khususnya seperti yang dianut para sufi besar semacam Bahauddin Naqshaband, Muhyiddin Ibn Arabi, dan yang terpenting bagi kami, Jalaluddin Rumi. Ketika kemanusiaan digerus oleh benturan berbagai kebudayaan, krisis ekologi, dan perubahan sosial yang sangat cepat, kami ingin mempromosikan kebenaran cinta dan pengetahuan Yang Mahakuasa melalui pengalaman langsung dan personal.
Untuk mencapai tujuan ini, kami mengungkapkan dan berbagi prinsip-prinsip inti dalam pengembangan spiritual, mengakui dan mengembangkan kemitraan yang sejati antara laki-laki dan perempuan, mengakui kemenyatuan dan kesalingtergantungan semua manusia dan semua makhluk hidup, dan membantu merealisasikanya dalam hidup yang harmonis sesama makhluk dan lingkungan alam. Cara lain yang juga kami tempuh, kami mengembangkan eskpresi yang kontemporer dari tradisi tasawuf yang klasik. Menciptakan format yang memungkinkan individu-individu dan kelompok-kelompok untuk menjadi matang dalam tradisi ini dan mencecap kenikmatan tasawuf, dan akhirnya, memberikan sumbangan nyata bagi kebudayaan melalui seni, musik, dan sastra.
The Threshold Society memiliki ratusan anggota aktif dan ratusan ribu orang di dunia yang pernah tersentuh oleh program dan publikasinya. Hingga tiga tahun yang lalu, penerbit Threshold adalah salah satu penerbit terkemuka di Barat untuk tema tasawuf. Namun belakangan kami memutuskan—agar lebih efektif—untuk memberikan lisensi buku-buku kami ke penerbit-penerbit besar dan memusatkan usaha kami pada pengajaran dan penulisan.
Manusia, termasuk orang Amerika, memiliki kebutuhan untuk bermasyarakat, khususnya masyarakat yang berbagi nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai sufistik sangat penting untuk memperbaiki perilaku masyarakat. Adab (akhlak, Red.) ditekankan secara khusus dalam tradisi Mawlawiyah. Bagian penting dari pendidikan spiritual adalah mengembangkan kapasitas masyarakat untuk kemitraan. Dan komunitas pecinta Tuhan (Threshold, Red.) adalah wahana untuk mengembangkan kapasitas ini.
Threshold telah mensponsori empat tur Darwis Berpusar dari Turki ke Amerika Utara (darwis adalah sebutan lain untuk sufi, Red.). Itu karena banyak orang yang membutuhkannya, dan kami menanggapinya. Tarekat Mawlawiyah mempunyai upacara yang indah, yang disebut Sama', yang terdiri dari ekspresi ibadah dan dalam waktu yang sama mencakup sebuah tradisi upacara dan musik spiritual. Ketika kami berkeliling ke kota-kota besar Amerika Utara, upacara ini menjadi salah satu peristiwa kebudayaan yang paling populer di musim itu. Banyak pengamat yang memuji getaran spiritualitas yang dirasakan setelah menyaksikan upacara itu. Tentu kami juga mempunyai orang-orang Amerika yang terampil dalam menyajikan upacara Sema. Suatu kali kami diundang ke acara pertemuan antar-iman di Katedral Nasional Washington, tempat ibadat Presiden Amerika Serikat. Ada sekitar 2.000 orang non-muslim yang ikut menyenandungkan zikir dan menyimak la ilaaha illallah begitu sejumlah darwis Mawlawiyah Amerika berpusar di panggung. Salah satu uskup Washington mengatakan bahwa pandangannya tentang spiritualitas semakin kaya malam itu!
Rumi adalah figur manusia universal. Ia ibarat sebuah gerbang raksasa bagi kemanusiaan. Ratusan ribu orang membaca puisinya yang menyentuh. Dia memiliki obat untuk menyembuhkan luka-luka budaya Barat, dan untuk kemanusiaan itu sendiri. Inti kebenaran yang disampaikan Rumi, baik melalui tulisan atau percakapan, adalah kemaha kasih, Maha pemurah, dan kemaha indahan Tuhan.
Pendekatan spiritual dari tarekat Mawlawiyah itu lebih artistik dan kreatif daripada formalistik. Dalam kata lain, kami menyentuh masyarakat melalui Keindahan dan Kehalusan Tuhan. Ketika orang-orang jatuh cinta pada Tuhan, mereka pasti akan berkembang dari sisi intelektual dan moral. Namun kami memusatkan perhatian pada transformasi jiwa dan kondisi batin yang penuh syukur dan zikir pada Tuhan.
Ciri Utama Tarekat Maulawiyah
Yang membuat tarekat ini beda adalah dakwah dengan cara menggunakan tarian-tarian yang disebut sama’ dalam bentuk tarian berputar, dan telah menjadi ciri khas dasar bagi tarekatnya. Akibatnya, tarekat Rumi di Barat dikenal sebagai The Whirling Darvish (Para Darwisy yang Berputar). Tarian suci ini dimainkan oleh para Darwish (fuqara’) dalam pertemuan-pertemuan (majlis) sebagai dukungan eksternal terhadap upacara-upacara (ritual mereka).
Sama’ dilembagakan Rumi pertama kali setelah hilangnya gurunya yang sangat dicintai, Syams al-Din Tabrizi. Sejak saat itu Rumi menjadi sangat sensitif terhadap musik, sehingga tempaan palu dari seorang pandai besi saja cukup untuk membuatnya menari dan berpuisi.
Bagian-bagian/tahap-tahap dalam sama’ terdiri dari dua bagian. Bagian pertama terdiri dari Naat (sebuah puisi yang memuji Nabi Muhammad), improvisasi ney (seruling) atau taksim dan “Lingkaran Sultan Walad”. Bagian kedua terdiri dari empat salam, musik instrumental akhir, pembacaan ayat-ayat suci al-Quran, dan doa. Inilah rinciannya:
a. Bagian pertama
1. Naat, Semacam musik religius. Naat dalam dalam musik maulawi disusun oleh Buhuriz Musthafa' Itri (1640-1712), tetapi puisinya adalah puisi Rumi.
2. Taksim. Taksim adalah sebuah improvisasi terhadap setiap makam atau mode, yaitu konsep penciptaan musik yang menentukan hubungan-hubungan nada, nada awal yang memiliki kontor dan pola-pola musik. Bagian ini merupakan bagian yang sangat kreatif dari upacara Maulawi.
3. Lingkaran/putaran sultan Walad, ini disumbangkan kepada upacara oleh putra sulung mawlana, sultan Walad. Selama putaran ini para darwisy yang ikut bagian dalam putaran tari berjalan mengelilingi sang samahane (ruang upacara) tiga kali dan menyapa satu sama laindi depan pos (lokasi tempat pemimpin tekke atau pemimpin upacara berdiri). Dengan cara ini mereka menyampaikan "rahasia" dari yang satu kepada yang lain.
b. Bagian kedua (empat salam), yaitu :
1. Salam pertama,melodi biasanya panjang, irama yang digunakan biasanya disebut "putaran berjalan" (Devr-i Revan). Bitnya adalah 14/8.
2. Salam kedua, pola irama dari salam ini disebut "Evfer" dan terdiri dari 9/8 bit.
3. Salam ketiga, dibagi kedalam dua bagian yang meliputi melodi dan irama. Bagian pertama disebut "putaran"(The cyicle) bitnya 28/4. bagian kedua disebut "Yoruk semai" bitnya 6/8.
4. Salam keempat, pola irama ini juga "Efver"(9/8), yakni irama lambat dan panjang untuk menurunkan elastasi sehingga sang darwisy bisa konsentrasi kembali. Tiap-tiap salam dihubungkan melalui nyanyian. Padsa bagian pertama dan kedua seleksi diambil dari Divan-i Syams atau mastnawi, pada bagian ketiga puisi mawlawi lain dinyanyikan.
c. Musik Instrumental
Dengan berakhirnya salam keempat berarti bagian oral selesai "yuruk semai" kedua dalam pola-pola 6/8 adalah akhir dari upacara. Setelah seleksi instrumental ini ada taksim seruling. Kadang-kadang musik ini dapat dimainkan melalui alat musik petik (senar).
d. Membaca Al-Qur'an atau Doa
Setelah musik selesai, seorang hafizh di antara para penyanyi membaca ayat-ayat al-qur'an. Sama' terus berlangsung sampai bacaan al-Qur'an dimulai. Ketika hafizh mulai bacaan Qur'annya para penari tiba-tiba berhenti dan mundur ke pinggir ruangan dan duduk. Setelah ia selesai pimpinan sama' berdiri dan mulai berdoa di depan sang syaikh, doa ini biasanya ditujukan untuk kesehatan dan hidup sang sultan atau para penguasa negara.
Adapun ajaran-ajaran Rumi, pada dasarnya dapat dirangkum dalam trilogi metafisik, yaitu Tuhan, Alam dan Manusia.
1. Ajaran Maulana Rumi tentang Tuhan
Pada gilirannya telah dikembangkan dari pernyataan Al-Quran sendiri yang menyatakan bahwa Tuhan adalah “Yang Awal, Yang Akhir, Yang Lahir, Yang Batin”. Tuhan “Yang Awal” bagi Rumi, berarti bahwa Ia adalah sumber yang dari-Nya segala sesuatu berasal. Semua manusia yang tinggal di bumi ini berasal dari Tuhan, walaupun kini ia telah melakukan perjalanan atau pengembaraannya yang jauh. Begitu jauhnya mereka mengembara, sehingga banyak diantara manusia yang melupakan Tuhannya.
Beralih kepada Tuhan sebagai “Yang Akhir”. Ini diartikan sebagai tempat kembali segala yang ada di dunia ini. Rumi juga termasuk sufi yang memandang Tuhan sebagai keindahan. Sebuah hadist mengatakan bahwa Tuhan itu Maha Indah, dan mencintai keindahan. Tentu saja sebagai yang Maha Indah, Tuhan adalah tujuan dari semua jiwa yang mencinta.
Tuhan sebagai “Yang Lahir”, bagi Rumi dunia yang lahir adalah fenomena, yang menyimpan didalamnya realitas yang sejati. Dengan demikian dunia lahir adalah petunjuk bagi adanya yang batin. Bagi Rumi tak mungkin ada yang lahir tanpa ada yang batin. Jadi sekalipun yang lahir, sepintas lalu berbeda dengan yang batin, tetapi yang lahir merupakan jalan menuju realitas yang tersembunyi di dalamnya.
Dengan demikian, Tuhan sebagai “Yang Batin”, adalah realitas yang lebih mendasar, sekalipun untuk dapat memahaminya kita memerlukan mata lain yang lebih peka. Jadi tidak semua orang dapat melihat kecantikan Tuhan yang tersembunyi di balik fenomena alam. Kebanyakan kita adalah pemerhati fenomena dank arena itu tidak bisa melihat keindahan batin yang tersembunyi di balik fenomena lahiriah alam.
2. Konsep Rumi tentang alam semesta
Bahwa motif penciptaan alam oleh Tuhan adalah cinta. Cintalah yang telah mendorong Tuhan mencipta alam, sehingga cinta Tuhan merembas,sebagai napas Rahmani, kepada seluruh partikel alam, dan menghidupkannya, sehingga berbalik mencintai sang penciptanya. Bagi Rumi alam bukanlah benda mati, tetapi hidup, berkembang bahkan memiliki kecerdasan, sehingga mampu mencintai dan dicintai, berkat sentuhan cinta Tuhan, maka ia menjadi makhluk yang hidup, bergerak penuh energy kearah Tuhan sebagai yang Maha baik dan Sempurna dan cintailah alam, niscaya alampun akan memberikan yang terbaik. Bagi Mawlana, alam bukanlah makhluk mati tetapi hidup, berkembang bahkan memiliki kecerdasan sehingga mampu mencintai dan dicintai. Dalam salah sati syairnya, Rumi pernah menggambarkan hubungan langit dan bumi seperti sepasang suami-istri.
3. Konsep Rumi tentang manusia
Manusia memiliki posisi yang sangat istimewa baik dengan kaitannya dengan alam maupun dengan Tuhan. Dengan kaitannya dengan alam, Rumi memandang manusia adalah tujuan penciptaan alam yakni sebagai tempat beribadah bagi manusia. Dan dalam kaitannya dengan Tuhan, manusia menempati posisi yang tinggi sebagai wakil-Nya di muka bumi. Ajaran Jalal al-Din Rumi lainnya yang sangat menarik tentang manusia adalah kebebasan memilih bagi manusia. Kebebasan memilih ini sangat penting bagi perkembangan dan aktualitas diri manusia. Manusia terlahir tidak dalam keadaan yang sempurna, melainkan lahir dengan sejuta potensi. Nah manusia perlu memiliki kebebasan memilih untuk mengaktualkan segala potensi yang dimilikinya itu. Dengan kebebasan inilah manusia dapat mencapai titik kesempurnaannya, sebagaiinsan kamil. Tetapi akan kebebasan yang sama pula, manusia memiliki resiko yang besar untuk menjadi makhluk yang terendah, kalau ia menghianati amanatnya, dengan misalnya menyalahgunakan kebebasannya untuk menuruti hawa nafsunya. Selain itu, Manusia juga memiliki kemampuan untuk memahami sesuatu atau dengan kata lain mampu memiliki ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia bertingkat-tingkat sesuai dengan alat yang digunakan untuk tujuan itu. Ada pengetahuan indrawi, pengetahuan yang didasarkan penalaran akal, dan pengetahuan melalui persepsi spiritual (intuisi). Dzikirnya disertai tarian mistik dengan cara keadaan tidak sadar, agar dapat bersatu dengan tuhan. Penganut-penganutnya bersifat pengasih dan tidak mengharapkan kepentingan diri sendiri, serta hidup sederhana menjadi teladan bagi orang lain.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah, kemudian berkembang ke di wilayah Turki Usmani, yang dikenal dengan nama Bistamiyah. Selanjutnya pada abad ke-15 Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India.
Nama tarekat ini dinisbatkan kepada Abdullah Syathar (w.1429 M), tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya. Berikutnya Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dari dua ulama ini Takrekat Syathariyah diteruskan oleh Syekh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan al-Din ke Minangkabau.
Tarekat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada 4 (empat) kelompok, yaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana. Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu Ulakan. Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam Kitabnya yang berjudul Syifa’ aI-Qulub.
Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarekat Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara kokoh. Untuk mendukung ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat, dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di propinsi – tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan tarekat Syaththariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam Syekh Burhan al-Din Ulakan.
Adapun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang di Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Rauf al-Sinkili. Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga bagian, yaitu :
1. Ketuhanan dan hubungannya dengan alam
Paham ketuhanan dalam hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1- Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam, bedanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum Tuhan menciptakan alam raya (al- ‘a/am), Dia selalu memikirkan (berta’akul) tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad (cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar (a/ ‘ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber dari pola dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk konkritnya. Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari’at, Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang tinggi.
2. Insan Kamil atau manusia ideal
Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya, sehingga “Ia adalah Dia.” Manusia adalah kutub yang diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para Nabi–dari Nabi Adam as sampat Nabi Muhammad SAW– dan para qutub (wali tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka. Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok: Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.
3. Jalan kepada Tuhan (Tarekat)
Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari’at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dan tauhid af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari (kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma’nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.
Sebutan Naqsyabandiyah pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi yang pada akhirnya dikenal sebagai pendiri Tarekat Naqsyabandiyah. Beliau dilahirkan di desa Qasr-i-Hinduvan (kemudian bernama Qasr-i-Arifan) dekat Bukhara pada tahun 1318 M dan di desa ini pula beliau wafat pada tahun 1389 M. Untuk menjaga prinsip “melakukan perjalanan di dalam negeri”, sebagian besar hidupnya dihabiskan di Bukhara, Uzbekistan dan sekitarnya, termasuk Transoksania. Sebagaimana ditulis oleh Omar Ali Shah dalam buku “Ajaran atau Rahasia dari Tariqat Naqsyabandi” mengatakan bahwa perjalanan jauh yang dilakukan oleh Baha’ al-Din hanya dua kali, yaitu waktu melaksanakan ibadah haji saja.
Baha’ al-Din dari awal memiliki kaitan erat dengan Khawajagan (pada guru dalam mata rantai Tarekat Naqsyabandi), karena sejak masih bayi beliau diadopsi sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari guru tarekat rumpun Khawajagan yang bernama Baba Muhammad Sammasi dan Sammasi adalah merupakan pemandu pertamanya dalam mempelajari ilmu tasawuf, waktu beliau berusia 18 tahun. Yang tak kalah pentingnya adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yang bernama Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772 H/1371 H). Dari sinilah beliau pertama kali belajar tarekat yang didirikannya.
Naqsyabandiyah merupakan satu-satunya tarekat yang memiliki silsilah penyampaian ilmu spiritualnya kepada Nabi Muhammad Saw. melalui Khalifah Muslim pertama Abu Bakar ash-Shiddiq, tidak seperti tarekat-tarekat lain yang asalnya dari salah satu Imam Syi’ah melalui Khalifah Ali bin Abi Thalib sampai kepada Nabi Muhammad Saw., kemudian tarekat Naqsyabandiyah dibina oleh 5 (lima) bintang atau tokoh, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Salman al-Farisi, Abu Yazid al-Bustami, Abdul Khaliq al-Gazdawani dan Muhammad Baha’ al-Din Uwaysi al-Bukhari, yang terakhir dikenal sebagai Syekh Naqsyaband, yaitu Imam utama tarekat Naqsyabandiyah.
Dalam perkembangannya Tarekat Naqsyabandiyah telah tersebar luas di berbagai wilayah. Pertama berdiri di Asia Tengah, kemudian menyebar ke Turki, Suriah, Afganistan dan India. Di Asia Tengah, tarekat ini tidak saja berada diperkotaan, tetapi juga sampai ke pedesaan terdapat Zawiyah (padepokan sufi) dan rumah peristirahatan Naqsyabandi sebagai tempat berlangsungnya aktivitas keagamaan yang cukup semarak. Di samping wilayah-wilayah tersebut tarekat ini juga berkembang di Bosnia Herzegovina dan wilayah Volga Ural. Kemudian pengaruhnya yang paling kuat terdapat di Turki dan wilayah Kurditan dan yang paling kurang adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa, yaitu dibawah gerakan “Islam Bawah Tanah” di Kaukasus Asia Tengah, namun di akhir pemerintahan Soviet pengaruh Naqsyabandiyah mulai berkurang.
Sebagai pendiri tarekat Baha’ al-Din Nasyabandi dalam melakukan kegiatan dan penyebaran tarekat ini mempunyai khalifah utama, yaitu Ya’qub Carkhi, Ala’ al-Din Aththar dan Muhammad Parsa, kemudian yang paling menonjol dalam perkembangan selanjutnya adalah ‘Ubaidillah Ahrar. ‘Ubaidillah terkenal dengan Syekh yang banyak memilki lahan, kekayaan dan harta. Beliau mempunyai watak yang sederhana dan ramah, tidak suka kesombongan dan keangkuhan. Dia menganggap kesombongan dan keangkuhan dapat merendahkan tingkat moral dan melemahkan tali pengikat spiritual seseorang. ‘Ubaidillah juga berjasa dalam meletakan ciri khas tarekat ini, yang terkanal dalam menjalin hubungan akrab dengan penguasa saat itu, sehingga ia mendapat dukungan yang cukup kuat. Selanjutnya tarekat ini mulai menyebarkan gerakannya ke luar Islam.
Dalam perkembangan berikutnya Tarekat Naqsyabandiyah menyebar ke Nusantara, yang dibawa dari Mekkah oleh para pelajar Indonesia yang belajar di Timur Tengah, kemudian menyebar ke seluruh pelosok tanah air, sehingga dikenal beberapa tokoh Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara, antara lain :
1. Muhammad Yusuf, yaitu Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau sebagai Sultan dan mempunyai istana di Pulau Penyengat dan di Lingga.
2. Di Pontianak, sebelumnya sudah ada Tarekat Naqsyabandiyah Mazhariyah. Di sini Tarekat Naqsyabandiyah dikembangkan oleh Ismail Jabal yang merupakan teman dari Usman al-Puntani (ulama terkenal di Pontianak yang menganut Tasawuf).
3. Di Madura, Tarekat Naqsyabandiyah sudah ada pada abad ke-11 hijriyah. Tarekat Naqsyabandiyah Mazhariyah merupakan tarekat yang sangat berpengaruh di Madura dan beberapa tempat lainnya yang penduduknya terdiri dari orang-orang yang berasal dari Madura, seperti Surabaya, Jakarta dan Kalimantan Barat.
4. Di Minangkabau, Tarekat Naqsyabandiyah adalah tarekat yang paling padat pengikutnya. Tokohnya adalah Jalaluddin dari Cangking, Abdu al-Wahab, Tuanku Syekh Labuan di Padang. Perkembangannya di Minangkabau sangat pesat hingga sampai ke Silungkang, Cangking, Singkarak dan Bonjol di Pasaman.
5. Di Jawa Tengah dikembangkan oleh Muhammad Ilyas dari Sukaraja dan Muhammad Hadi dari Giri Kusumo. Popongan menjadi salah satu pusat utama kegiatan Tarekat Naqsyabandiyah di Jawa Tengah.
Ciri-ciri Tarekat Naqsyabandiyah
Adapun ciri-ciri tarekat ini Dra.Wiwi Siti Sajaroh,M.Ag dalam buku “Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia” memberikan ciri-ciri yang menonjol dalam Tarekat Naqsyabandiyah, yaitu :
1. Mengikuti syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah dan menolak musik dan tari dalam ibadah dan lebih menyukai berzikir dalam hati.
2. Upaya yang serius dalam mempengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara kepada agama. Berbeda dengan tarekat lainnya, tarekat Baqsyabandiyah tidak menganut kebijaksanaan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu, namun sebaliknya berusaha mengubah pandangan mereka melalui gerakan politiknya.
3. Membebankan tanggung jawab yang sama kepada para penguasa sebagai usaha untuk memperbaiki masyarakat.
Mengenai ajaran Tarekat Naqsyabandiyah dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
1. Azas-Azas
Pengikut Naqsyabandiyah mengenal sebelas azas Thariqah, delapan dari azas itu dirumuskan oleh Abdu al-Khalid Gazdawani dan tiga ditambahkan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Masing-masing azas itu disebutkan dalam beberapa risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para pengikut Khalidiyah. Kitab Jami al-Ushul fi al-Auliya karya Ahmad Dhinya’ al-Din Gumusykhanawi, kitab ini dibawa ke tanah air oleh sebagian besar jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi adalah Tanwir al-Qulub karya Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, kitab ini masih dipakai secara luas. Pembahasan kitab-kitab ini sebagian besar mirip dengan pembahasan Taj al-Din Zakarya (‘kakek” spiritual Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip oleh Trimingham. Azas-azas itu ditulis dalam bahasa Persi (bahasa para Khawajagan dan kebanyakan bahasa penganut Naqsyabandiyah India). Azas-Azas Abdu al-Khaliq itu adalah :
1. Hush dar dam “sadar sewaktu bernafas”. Yaitu suatu latihan konsentrasi, sufi yang bersangkutan harus sadar bahwa setiap menarik nafas, menghembuskan nafas dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar bahwa Allah yang memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih dekat kepada Allah. Lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
2. Nazar bar qadam “menjaga langkah”. Yaitu sewaktu berjalan, sang murid harus menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan. Hal ini dilakukan supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
3. Safar dar watan “melakukan perjalanan di tanah kelahiran”. Yaitu melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dia-lah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gusmusykhanawi).
4. Yad kard “ingat”, “menyebut”. Yaitu terus-menerus mengulangi nama Allah, zikir tauhid (la ilaha illallah) atau formula zikir yang diberikan oleh seorang guru, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu penganut Naqsyabandiyah, zikir tidak saja dilakukan dengan berjamaah atau sendirian setelah selesai shalat, akan tetapi harus terus-menerus, agar dalam hati selalu bersemayam kesadaran terhadap Allah secara permanen.
5. Baz gasyt “kembali”, “memperbaharui”. Yaitu mengendalikan hati agar tidak cenderung kepada hal-hal yang menyimpang (ngelantur), seorang murid harus membaca “ilahi anta maqsudi wa ridhaka mathlubi” (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridhaan-Mu-lah yang ku harapkan) yang dilakukan setelah membaca zikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas. Sewaktu mengucapkan zikir, arti dari kalimat ini harus selalu berada di hati seseorang, supaya perasaannya yang halus mengarah kepada Allah semata.
6. Nigah dasyt “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus ketika melakukan zikir tauhid, agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran tetap terhadap Tuhan serta untuk memelihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru “Ku jaga hatiku selama sepuluh hari, kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun”
2. Zikir dan Wirid
Sebagaimana kebanyakan tarekat, teknik dasar Naqsyabandiyah dalam melakukan zikir adalah dengan menyebut nama Tuhan secara berulang-ulang ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan zikir ini adalah untuk mencapai kesadaran terhadap Allah yang lebih langsung dan permanen. Teknik pertama, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal zikir yang lazimnya zikir diam (khafi “tersembunyi” atau qalbi “dalam hati”), sebagai lawan dari zikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan zikir yang harus diamalkan lebih banyak dari kebanyakan tarekat.
Dalam hal zikir ini, Tarekat Naqsyabandiyah memiliki dua macam zikir, yaitu:
1. Zikir ism al-zat ”mengingat yang hakiki” dan zikir tauhid “mengingat keesaan”. Yang terdiri dari pengucapan asma Allah secara berulang-ulang dalam hati, dengan jumlahnya ribuan kali (dihitung dengan tasbih) sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata.
2. Zikir Tauhid (juga zikir tahlil atau zikir nafty wa itsbat), terdiri atas bacaan la ilaha illallahdengan perlahan disertai dengan pengaturan nafas sambil membayangkan seperti menggambar jalan (garis) melewati tubuh. Kalimat la digambar dari daerah pusar terus ke ubun-ubun, kalimat ilaha turun ke kanan dan berhenti di ujung bahu kanan, di situ kalimat berikutnya illa dimulai dengan turun melewati bidang dada sampai ke jantung dan ke arah jantung inilah kata Allah dihunjamkan dengan sekuat tenaga dengan membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
Selanjutnya Zikir ini memiliki tujuh tingkatan, yaitu :
1. Mukasyah. Yaitu mula-mula zikir dengan nama Allah dalam hati sebanyak 5000 kali sehari-semalam, kemudian dilaporkan kepada Syekh untuk dinaikan jumlah zikirnya menjadi 6000 kali sehari-semalam. Zikir 5000 dan 6000 ini dinamakan maqam pertama.
2. Lathifah, zikir ini antara 7000 sampai 11.000 kali sehari-semalam. Zikir ini terbagi tujuh macam, yaitu : qalb (hati, ruh (jiwa), sirr (nurani terdalam), khafi (kedalaman tersembunyi), akhfa (kedalaman paling tersembunyi) dan nafs nathiqah (akal budi). Lathifah ketujuh kull jasad sebenarnya tidak merupakan titik, tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat zikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan.
3. Nafi’ Itsbat, pada tahap ini atas pertimbangan syekh, zikirnya diteruskan dengan kalimat la ilaha illa Allah. Ini merupakan maqam ketiga.
4. Waqaf Qalbi.
5. Ahadiyah.
6. Ma’iyah.
7. Tahlil, setelah sampai pada maqam terakhir ini, maka seorang murid akan memperoleh gelar khalifah, dengan ijazah dan berkewajiban menyebarluaskan ajaran tarekat ini dan diperbolehkan mendirikan suluk yang dipimpin oleh mursyid.
Tarekat Suharawardiyah dinisbahkan kepada Dhiya’ al-Din Abu Najib al-Suhrawardi (w. 564 H/1168 M), didirikan oleh keponakan dan sekaligus muridnya Shihab al-Din Abu Hafs Umar al-Suhrawardi yang lahir di Suhraward pada tahun 539 H/1144 M dan wafat di Baghdad pada tahun 632 H/1234 M. Di mana pada awalnya Abu Hafs Umar memperoleh bimbingan agama tarekat dari pamannya Dhiya’ al-Din Abu Najib al-Suhrawardi di sebuah Ribath yang terletak di tepi sungai Tigris, setelah itu dia merantau ke Bashrah dan Baghdad untuk menimba berbagai ilmu pengetahuan dari sejimlah syekh, seperti Syekh Abd al-Qadir al-Jailani, Syekh Muhammad ibn Abd Allah dan Syekh Abd al-Qasim ibn Fadhlan. Sepulang dari rantau dengan membawa ilmu, beliau ditugaskan oleh pamannya sebagai pengajar di Ribath, hingga akhirnya Suhrawardi termasyhur di segala penjuru.
Kemasyhuran Suhrawardi di dukung oleh pemerintah di zamannya, Khalifah Nasir (1180-1225 M) menginginkan bangkitnya kehidupan rohani yang lebih baik di seluruh dunia Islam, sehingga terciptanya persatuan atau hubungan baik antara pengasa muslim untuk menghadapi ancaman tentara Mongol. Khalifah kemudian menunjuk Abu Hafs Umar al-Suhrawardi sebagai duta ke sejumlah penguasa muslim dan membangkitkan semangat futuwah (semangat kepemudaan) di kalangan umat. Syekh al-Suhrawardi menyanggupi tugas itu dan kemudian menemui beberapa khalifah, seperti Sultan Ala’ al-Din Kaiqubad I (Sultan Bani Saljuk), Sultan al-Malik al-Adil (Sultan Bani Ayyub) dan Syah Khwarizmi.
Bagaikan “sambil menyelam minum air” Suhrawardi menunaikan tugas yang diamanatkan oleh khalifah juga menggunakan kesempatan itu untuk memperkenalkan Ajaran Tarekat Suhrawardiyah dengan mengajarkannya kepada jama’ah yang menyambutnya di berbagai kota yang dilewatinya. Di samping itu beliau juga berkoresponden dengan para sufi tentang berbagai masalah yang dihadapi tasawuf, hal ini bisa dilakukan karena hubungan baik yang dijalin oleh Suhrawardi dengan para pendukungnya, baik di Baghdad, maupun ketika mengadakan perjalanan ke berbagai Ribath di Negeri Allepo, Damaskus dan sebagainya.
Selanjutnya kemasyhuran Tarekat Suhrawardiyah juga didukung oleh karya tulis Shihab al-Din Abu Hafs Umar al-Suhrawardi dalam Kitab Awarif al-Ma’arif dan Kitab Kasyf al-Nasha’ih al-Imaniyah wa Kasyf al-Fadha’if al-Yunaniyah, dimana karya tulisnya ini menjadi bahan rujukan bagi para sufi, berisi tentang seperangkat ahwal dan maqamat, berbagai etika dan adab yang harus dilakukan oleh kaum sufi. Dengan demikian di samping para pengikut Tarekat Suhrawardiyah, Karya tulisnya ini (Awarif al-Ma’arif) juga ikut berperan dalam penyebaran ajarannya secara luas, sehingga dikenal di kawasan Irak, Syam, Persia dan India.
Dalam perkembangan berikutnya, tarekat ini tersebar ke seluruh dunia, sehingga akhirnya melahirkan Thaifah yang terorganisir secara reguler. Abd al-Rahman al-Wasithi mengatakan bahwa, tarekat ini mempunyai banyak cabang yang sulit ditegaskan keberadaannya, karena sebagian besar Thaifah sufi mengklaim sebagai bagian dari silsilah Suhrawardi.
Di samping itu Tarekat Suhrawardiyah pada dasarnya merupakan induk dari sejumlah tarekat, diantaranya Tarekat Khalwatiyah, Tarekat Shiddiqiyah dan lain sebagainya. Selain itu tarekat ini juga sampai ke Indonesia, sebab menurut Azyumardi Azra dalam buku “Jaringan Ulama” mengatakan bahwa, Ahmad al-Qusyasyi selain afiliasi dengan Tarekat Syathariyah, Chisytiyah, Firdausiyah dan Kubrawiyah dari Ahmad al-Syinawi, dimana tarekat-tarekat tersebut ada juga di Indonesia.
Sebagaimana ditegaskan oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani bahwa, ajaran dan ritual Tarekat Suhrawardiyah terdapat pada kitab Awarif al-Ma’arif yang banyak membicarakan tentang latihan rohani praktis. Maka dapat dirangkum bahwa ajaran dan ritual Tarekat Suhrawardiyah itu terdiri dari :
1. Ma’rifah, yaitu mengenal Allah melalui sifat-sifat Allah dalam bentuk terinci dengan memahami bahwa Allah saja-lah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak, seperti memahami wujud Allah melalui kejadian dan musibah. Karena itu ma’rifah adalah menaruh kebenaran kepada perbuatan Allah yang diawali dengan amalan-amalan, kemudian meningkat kepada Ahwal, selanjutnya menjadi mahabbah kepada Allah dalam pengabdian dan sujud dihadapan Allah. Ma’rifah ini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu : a). Setiap akibat yang timbul adalah berasal dari Pelaku Mutlak (Allah); b). Setiap akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak adalah hasil dari sifat tertentu yang dimiliki Allah; c). Dalam keangungan setiap sifat Allah, diketahui maksud dan tujuan Allah; d). Sifat Ilmu Allah, diketahui dalam ma’rifah-Nya sendiri.
2. Faqr, yaitu tidak memiliki harta, seorang penempuh jalan hakikat tidak akan sampai ke tujuan, kecuali jila ia sudah melewati tahap ke-zuhud-an. Seseorang yang menginginkan dunia, meski tak memiliki harta, makna Faqr hanyalah sekedar angan-angan belaka. Sebab Faqr bermakna tidak mengumpulkan harta, meski sangat menginginkannya; kebiasaannya tidak memiliki harta, meski bersikap zuhud; kebenarannya adalah kemustahilan memiliki harta. Seorang pemilik hakikat melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam kekuasaan Allah, oleh sebab itu ia memandang menyerahkan harta kepada orang lain dibolehkan. Faqr dalam diri manusia pemilik hakikat adalah sebuah sifat alami, baik memiliki atau tidak memiliki harta, sifat alami itu tidak akan berubah. Dalam hal ini ada beberapa golongan Faqr, yaitu : a). Mereka yang memandang dunia dan harta bukan sebagai kekayaan, jika mereka memiliki harta, mereka akan memberikannya kepada orang lain, sebab mereka tidak menginginkannya dalam kehidupan dunia ini, tetapi di akhirat nanti; b). Mereka yang tidak memperhitungkan amal-amal dan ibadahnya, meski semua itu bersumber dari dirinya dan tidak mengharapkan ganjaran apa pun; c). Mereka yang dengan kedua sifat ini tidak memandang hal dan maqamnya, semua itu mereka pandang sebagai anugeral Allah; d). Mereka yang tidak menganggap zat dan eksistensi mereka sendiri sebagai milik mereka. Zat, kualitas, Hal, maqam dan amal mereka tidaklah ada dan bukan apa-apa serta tidak meninggalkan apa-apa di dunia dan di akhirat.
3. Tawakkul, yaitu mempercayakan segala urusan kepada Pelaku Mutlak (Allah), mempercayakan jaminan rezki kepada-Nya. Tahan ini terletak sesudah raja’ (harapan), sebab yang pertama akan memahami rahmat-Nya. Tawakkul adalah hasil dari kebenaran keimanan melalui pertimbangan yang baik dan takdir. Tawakkul ini terbagi kepada dua, pertama Tawakkul al-inayah, artinya tawakal dalam anugerah Allah, kedua tawakkul al-kifayah, artinya tawakal dalam keindahan dan kehendak Allah, bukan tawakal dalam kecukupan.
4. Mahabbah, artinya Cinta kepada Allah, ini merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, seperti taubat adalah dasar bagi kemuliaan maqam. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan. Ada dua jenis mahabbah : 1). Mahabbah ‘am, yaitu mahabbah yang memiliki sifat : a). kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan sifat-sifat; b). Sebuah bulan muncul karena memandang sifat-sifat keindahan; c). Seberkas cahaya yang mengisi wujud; d). Sebuah tanda yang berkata “aku meniru apa yang murni dan mengucapkan selamat tinggal pada apa yang sangat gamblang”; e). Anggur terbaik, tersegel dan terperam oleh waktu; f). Sejenis anggur yang murni dan tidak murni, jernih dan kotor, ringan dan berat. 2). Mahabbah Khas, memiliki sifat : a). Kecenderungan jiwa untuk menyaksikan keindahan zat; b). Bagaikan matahari, yang terbit dari horizon zat; c). Api yang memurnikan wujud; d). Sebuah tanda yang berkata “jangan hidup dan jangan terbakar”; e). Benar-benar sumber murni; f). Sejenis anggur kemurnian dalam kemurnian, kejernihan dalam kejernihan dan kekeringan dalam kekeringan.
5. Fana’ dan Baqa’, Fana’ artinya akhir daei perjalanan menuju Allah, sementara Baqa’ artinya awal dari perjalanan dalam Allah. Perjalan menuju Allah berakhir ketika dengan ketulusan. Perjalanan di dalam Allah bisa diuji ketika, sesudah fana’ mutlak. Ada yang mengatakan fana’ berarti : a). Fana’ dalam berbagai perbedaan; b). Menurunnya keinginan akan segala kesenangan duniawi; c). Menurunnya keinginan akan segala kesenangan akan dunia dan akhirat nanti; d). Menurunnya kadar sifat-sifat tercela; e). Tersembunyinya segala sesuatu. Sementara Baqa’ berarti : a). Baqa’ dalam keselarasan; b). Baqa’ dalam kesenanagan kehidupan di akhirat kelak; c). Baqa’ dalam kesenangan di dalam Allah; d). Baqa’ dalam sifat-sifat terpuji; e). Kehadiran Allah. Fana terbagi pula kepada dua, yaitu Fana’ lahiriyah (fana dalam bebrbagai perbuatan dan keangungan berbagai perbuatan Ilahi) dan Fana bathiniyah (Fana dalam sifat dan zat).
Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula dari kegiatan sang tokoh pendirinya, yaitu Syekh Muhammad bm Abdul Karim as-Samani al-Hasani ai-Madani al-Qadiri al-Quraisyi. Ia adalah seorang fakih, ahli hadis, dan sejarawan pada masanya. Dilahirkan di Kota Madinah pada tahun 1132 Hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1718 Masehi. Keluarganya berasal dari suku Quraisy.
Semula, ia belajar Tarekat Khalwatiyyah di Damaskus. Lama-kelamaan, ia mulai membuka pengajian yang berisi teknik zikir, wirid, dan ajaran tasawuf lainnya. Ia menyusun cara pendekatan diri dengan Allah SWT yang akhirnya disebut sebagai Tarekat Sammaniyah. Sehingga, ada yang mengatakan bahwa Tarekat Sammaniyah adalah cabang dari Khalwatiyyah.
Demi memperoleh ilmu pengetahuan, ia rela menghabiskan usianya dengan melakukan berbagai perjalanan. Beberapa negeri yang pernah ia singgahi untuk menimba ilmu di antaranya adalah Iran, Syam, Hijaz, dan Transoxiana (wilayah Asia Tengah saat ini). Karyanya yang paling terkenal adalah kitab Allnsab. Ia juga mengarang buku-buku lain, seperti Mujamu al-Masyayikh, Tazyilul Tarikh Baghdad, dan Tarikh Marv.
Syekh Muhammad Samman dikenal sebagai tokoh tarekat yang memiliki banyak karamah. Baik kitab Manaqib Syaikh al-Waliy al-Syahir Muhammad Saman maupun Hikayat Syekh Muhammad Saman, keduanya mengungkapkan sosok Syekh Samman.
Sebagaimana guru-guru besar tasawuf, Syekh Muhammad Samman terkenal akan kesalehan, kezuhudan, dan kekeramatannya. Konon, ia memiliki karamah yang sangat luar biasa. “Ketika kaki diikat sewaktu di penjara, aku melihat Syekh Muhammad Samman berdiri di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku dan pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus,” kata Abdullah al-Basri. Padahal, kata seorang muridnya, ketika itu Syekh Samman berada di kediamannya sendiri.
Adapun perihal awal kegiatan Syekh Muhammad Samman dalam tarekat dan hakikat, menurut Kitab Manaqib. diperolehnya sejak bertemu dengan Syekh Abdul Qadir Jailani.
Suatu ketika, Syekh Muhammad Samman berkhalwat (menyendiri) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu. datang Syekh Abdul Qadir Jailani yang membawakan pakaian jubah putih. “Ini pakaian yang cocok untukmu.” Ia kemudian memerintahkan Syekh Muhammad Samman agar melepas pakaiannya dan mengenakan jubah putih yang dibawanya. Konon, Syekh Muhammad Samman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah dari Rasulullah SAW untuk menyebarkannya kepada penduduk Kota Madinah.
Tarekat ini berkembang pesat di wilayah Afrika bagian utara,terutama Sudan.Di samping Naqsyabandiah, Syattariyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah, umat Islam juga mengenal adanya Tarekat Sammaniyah. Tarekat Sammaniyah merupakan salah satu cabang dari Tarekat Syadziliyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ali asy-Syazili (wafat 1258) di Mesir. Pendiri Tarekat Sammaniyah adalah Muhammad bin Abdul Karim as-Samani al-Hasani al-Madani (1718-1775 M).
Tarekat ini berhasil membentuk jaringan yang sangat luas dan mempunyai pengaruh besar di kawasan utara Afrika, yaitu dari Maroko sampai ke Mesir. Bahkan, memperoleh pengikut di Suriah dan Arabia. Aliran tarekat ini lebih banyak menjauhkan diri dari pemerintahan dan penguasa serta lebih banyak memihak kepada penduduk setempat, di mana tarekat ini berkembang luas.
Salah satu negara Afrika yang banyak memiliki pengikut Tarekat Sammaniyah adalah Sudan. Tarekat ini masuk ke Sudan atas jasa dari Syekh Ahmad at-Tayyib bin Basir yang sebelumnya belajar di Makkah sekitar tahun 1800. Pemimpin Tarekat Sammaniyah di Sudan yang terkenal ialah Syekh Muhammad Ahmad bin Abdullah (1843-1885) yang pernah memproklamasikan dirinya sebagai mahdi (pemimpin yang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh masyarakat). Ia adalah seorang pemimpin dan anggota Tarekat Sammaniyah yang sangat saleh dan kehadirannya dinanti-nantikan oleh masyarakat Sudan.
Syekh Muhammad Ahmad menghendaki adanya perbaikan-perbaikan terhadap praktik-praktik keagamaan sesuai dengan agama Islam yang benar. Ia memberikan berbagai perintah tentang bermacam-macam aspek keagamaan, seperti pengasingan (pingitan) terhadap kaum wanita dan pembagian tanah kepada rakyat, dan berusaha memodifikasi berbagai praktik keagamaan masyarakat Sudan yang pada waktu itu dilakukan sebagai tradisi. Ini semua bertujuan untuk menyesuaikan tradisi mereka dengan ajaran-ajaran syariat.
Syekh Muhammad Ahmad juga menentang pemakaian jimat, penggunaan tembakau dan alkohol, ratapan wanita pada upacara pemakaman jenazah, penggunaan musik dalam prosesi keagamaan, dan ziarah ke kuburan orang-orang suci (wali). Dalam rangka meniru hijrah Nabi Muhammad SAW, ia dan para pengikutnya mengasingkan diri di Pegunungan Kardofan, lalu menyebut diri mereka sebagai Ansar (penolong) Nabi SAW. Lebih jauh, kelompok ini berhasil membentuk pemerintahan revolusioner dengan organisasi militer yang sangat rapi dan mempunyai sumber keuangan yang teratur serta administrasi yang baik.
Amalan Sammaniyah
Ciri-ciri Tarekat Sammaniyah adalah berzikir La llaha Illa Allah dengan suara yang keras oleh para pengikutnya. Dalam mewiridkan bacaan zikir, para murid Tarekat Sammaniyah biasa melakukannya secara bersama-sama pada malam Jumat di masjid-masjid atau mushala sampai tengah malam.
Selain itu, ibadah yang diamalkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samani adalah shalat sunah Asyraq (setelah Subuh) dua rakaat, shalat sunah Dhuha sebanyak 12 rakaat, memperbanyak riyadhah (melatih diri lahir batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT), dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.
Berikut adalah beberapa ajarannya yang terkenal. Pertama, memperbanyak shalat dan zikir. Kedua, bersikap lemah lembut kepada fakir miskin. Ketiga, tidak mencintai dunia. Keempat, menukarkan akal basyariyah (kemanusiaan) dengan akal rabbaniyah (ketuhanan). Kelima, menauhidkan Allah SWT, baik dalam zat, sifat, maupun a/aZ-Nya.
1. Sebelum seseorang murid diterima menjadi ahli, wajib mandi dengan air limau/bidara untuk membersihkan dosa.
2. Bersedekah dan menghormati guru menjadi kewajiban bagi murid-muridnya. Di samping itu murid-murid digalakkan membuat kebajikan dan memberi bantuan kepada guru.
3. Kitab Thabitul Qulub yang dijadikan kitab suci tarikat tersebut, didapati banyak yang bertentangan dengan pegangan umat Islam. Setiap orang yang belajar tarikat itu diberikan buku tersebut dengan harga 25 Ringgit Malaysia.
4. Wirid-wirid dalam tarikat ini dikumpul di dalam buku Baitul lbadah yang mengandungi zikir-zikir yang disusun berdasarkan kepada ayat-ayat Al-Quran, selawat, istighfar dan doa.
5. Terdapat 26 adat kesopanan murid kepada guru. Antaranya murid tidak diperbolehkan menikah dengan istri guru yang diceraikan atau ditinggalkan mati.
6. Jika seseorang mati ketika berulang-alik ke tempat belajarnya untuk mempelajari tarikat itu maka Tuhan sendiri yang akan mencabutkan nyawanya itu.
7. Shalat boleh dilakukan dengan niat saja (sembahyang batin) atau boleh ditinggalkan semasa dalam kesibukan kemudian diqada’.
8. Nikah boleh dilakukan tanpa wali dan saksi (nikah batin).
9. Shalat fardhu diabaikan atau ditinggalkan kerana cukup dengan niat di hati.